Wednesday, May 6, 2009

Free Floating Exchange Rate System dan Penerapannya pada Kebijaksanaan Ekonomi di Negara yang Berperekonomian Kecil dan Terbuka

Abstrak

Sejak runtuhnya sistem Bretton Wood pada awal tahun 1970-an, sistem nilai tukar mengambang bebas telah diterapkan di banyak negara di dunia. Pemilihan terhadap sistem nilai tukar ini didasarkan kepada keuntungan ekonomis yang akan diperoleh dari padanya, tanpa mengabaikan kerugian yang ditimbulkan. Penilaian terhadap keuntungan dan kerugian dari penerapan sistem nilai tukar ini akan sangat bergantung pada perekonomian negara yang bersangkutan, karena setiap perekonomian negara akan memberikan respon yang khas.

Pada negara yang berperekonomian kecil dan terbuka dampak yang ditimbulkan dalam perekonomian nasionalnya oleh penerapan sistem nilai tukar mengambang ini akan berbeda dengan yang diterima oleh negara maju. Penjabaran mengenai fenomena yang terjadi pada negara yang berperekonomian kecil dan terbuka ini akan menjadi lebih jelas melalui penggunaan model Mundell – Fleming, yang memang secara khusus dikembangkan untuk keperluan tersebut, serta dukungan dari berbagai landasan teori yang terkait dengan topik kajian.

Dengan menggunakan asumsi mobilitas modal yang sempurna, model Mundell–Fleming mampu menjelaskan, bahwa dampak dari pelaksanaan kebijakan ekonomi, khususnya kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, di negara yang berperekonomian kecil dan terbuka yang telah menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan berbeda dengan negara-negara lainnya. Kebijakan fiskal pada negara tersebut tidak akan mengubah tingkat pendapatan nasionalnya secara signifikan, tetapi hanya akan menghasilkan perubahan pada nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing. Sedangkan kebijakan moneter pada negara yang sama, akan menyebabkan berubahnya tingkat pendapatan nasionalnya, sebagai akibat dari berubahnya kurs mata uang domestik.

Kata kunci: nilai tukar, kebijakan fiskal, kebijakan moneter.

Negara yang berperekonomian kecil adalah negara yang perekonomian nasionalnya belum maju, dalam arti peran dan pengaruh negara tersebut dalam perekonomian global tidak cukup besar. Negara-negara yang termasuk dalam katagori ini adalah negara-negara dunia ketiga (mayoritas negara miskin dan negara yang sedang berkembang), yang umumnya memiliki karakteristik struktural sebagai berikut

(Krugman and Obstfeld 2000) :

1. Kontrol pemerintah terhadap perekonomian relatif lebih dominan. Termasuk dalam hal kepemilikan saham serta pengontrolan terhadap perusahaan-perusahaan besar dan strategis; tingkat konsumsi pemerintah yang tinggi ditinjau dari prosentase GNP-nya; kontrol langsung terhadap banyak hal dalam transaksi keuangan internal.

2. Memiliki sejarah tingkat inflasi yang relatif tinggi, salah satu sebabnya karena masih adanya kendala-kendala struktural (structural bottleneck) dalam perekonomian nasional, yang menyebabkan terjadinya inflationary gap dalam jangka panjang.

3. Masih lemahnya lembaga-lembaga pemberi kredit, termasuk bank dan lembaga keuangan bukan bank, dalam hal pembiayaan kredit maupun kualitas pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan kredit oleh para debitornya. Seringkali industri perbankan nasional memberikan kredit pada proyek-proyek yang beresiko relatif tinggi dengan persyaratan kredit yang kurang memadai, sehingga banyak sekali terjadi kredit macet, yang akhirnya sangat mengganggu kesehatan industri perbankan nasional.

4. Relatif membatasi fluktuasi nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing, dengan menggunakan sistem nilai tukar valuta asing yang cenderung tetap (fixed), serta melakukan pengendalian secara ketat terhadap pergerakan modal internasionalnya (international capital movement). Dengan tujuan utama, memacu pertumbuhan ekspor dan pembatasan impor barang dan jasa untuk mengurangi defisit neraca pembayarannya, serta mempertinggi laju pertumbuhan ekonominya dengan cara memperbanyak aliran modal masuk (capital inflow).

5. Transaksi ekspornya sebagian besar masih bertumpu pada komoditas pertanian dan hasil sumberdaya alam (pertambangan, kehutanan, dan sebagainya), karena relatif belum berkembangnya sektor industri di negara tersebut.

6. Relatif masih tingginya angka kemiskinan dan tindak korupsi. Sebagai akibat dari tingkat pendidikan yang relatif rendah, ketidakmerataan dalam redistribusi pendapatan, dan sistem birokrasi yang cenderung sentralistik.

Sedangkan, yang dimaksud dengan negara yang berperekonomian terbuka (open economy country) adalah suatu negara yang telah membuka diri terhadap dunia internasional dengan melakukan berbagai transaksi perdagangan – baik barang dan jasa maupun transaksi modal dengan pihak luar negeri, serta telah mengintegrasikan diri ke dalam kancah perekonomian global.

Selengkapnya download artikel jurnal ekonomi via ziddu


No comments:

Post a Comment