Thursday, April 30, 2009

Variations in National Management Accounting Approaches

1. Introduction

Two recent books comparing national management accounting environments, one on Europe (Bhimani, 1996) and the other on Latin America (Lizcano, 1996) have highlighted how national approaches vary in this area. In this article we:

1. Contrast this recent awareness of contrasts in national management accounting approaches with the well established awareness of contrasts in national financial accounting approaches.

2. Discuss the ways in which national management accounting environments vary drawing mainly, but not exclusively, on the work of Bhimani on Europe and Lizcano on Latin America.

3. Reflect on the implications of these variations for managers working in an international environment.

2. Comparative national management accounting

An analysis of national variations in financial accounting practice emerged as early as 1911 in a lecture by Henry Rand Hatfield (reprinted as Hatfield 1966). Comprehensive international surveys of national financial reporting practice emerge from the 1970’s onwards. (See for example Price Waterhouse 1973, 1975, 1979”). By contrast the first comparative published surveys of national management accounting practices only emerge at the regional level, and as recently as 1996, in surveys of Europe by Bhimani (1996) and of Latin America by Lizcano (1996).

Both surveys have involved giving experts on management accounting within the country concerned an outline of areas to be covered and allowing them to describe the management accounting environment in their country in their own way. Bhimani covers Belgium, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Italy, the Netherlands, Spain, Sweden, and the United Kingdom. Lizcano covers Argentina, Brazil, Columbia, Cuba, Chile, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Mexico, Paraguay, and Peru, together with Spain and Portugal. Altogether, therefore, we have studies of 12 European and 11 Latin American countries, with Spain covered twice. In a review of Bhimani, Birkett (1998) observes that the very concept of what constitutes the domain of management accounting varies between the countries covered. In this paper, we put forward five distinct aspects of national management accounting culture where we believe comparisons between countries can be made:

1. The influence of regulations or official recommendations on management accounting practice.

2. The training and qualifications of a management accounting profession.

3. The impact of one country’s influence on another.

4. Variations between countries in the use of specific management accounting techniques.

5. The objectives of using management accounting techniques.

Download management accounting journal via ziddu or easy share


Wednesday, April 29, 2009

Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka

Abstrak

Earnings management atau manajemen laba merupakan suatu fenomena baru yang telah menambah wacana perkembangan teori akuntansi. Istilah manajemen laba muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya-upaya manajer atau pembuat laporan keuangan untuk melakukan manajemen informasi akuntansi, khususnya laba (earnings), demi kepentingan pribadi dan/atau perusahaan. Manajemen laba itu sendiri tidak dapat diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba.

Secara teoritis ada banyak cara atau metode yang dapat ditempuh oleh manajer (pembuat laporan keuangan) untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan (reported earnings) yang memang memungkinkan ditinjau dari teori akuntansi positif (positive accounting theory). Teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajer memiliki insentif atau dorongan untuk dapat memaksimalkan kesejahteraannya.

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa praktek manajemen laba ditemui dalam banyak konteks. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa atau variabel-variabel ekonomi tertentu dapat dijadikan sebagai sarana untuk memanaje laba. Kenyataan tersebut memberikan peluang bagi para peneliti akuntansi khususnya, dan peneliti manajemen umumnya, untuk meneliti kemungkinan munculnya manajemen laba pada satu aspek atau konteks ekonomi.

Kata kunci: Manajemen laba, teori akuntansi positif, akrual, laba.

Istilah earnings management atau manajemen laba mungkin tidak terlalu asing bagi para pemerhati manajemen dan akuntansi, baik praktisi maupun akademisi.1 Istilah tersebut mulai menarik perhatian para peneliti, khususnya peneliti akuntansi, karena sering dihubungkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan (preparers of financial statements).

Sekilas, tampak bahwa manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba (earnings) atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini tidaklah aneh karena tingkat keuntungan atau laba yang diperoleh sering dikaitkan dengan prestasi manajemen disamping memang adalah suatu yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh.2 Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila manajer sering berusaha menonjolkan prestasinya melalui tingkat keuntungan atau laba yang dicapai.

Istilah manajemen laba muncul pada saat peneliti, khususnya peneliti akuntansi, mencoba mengkaitkan hubungan antara suatu variabel ekonomi tertentu dan upaya-upaya manajer untuk mengambil manfaat atas variabel tersebut. Apabila kita bicara tentang manajemen laba, bahasan kita tidak akan terlepas dari suatu teori baru di akuntansi, yaitu teori akuntansi positif atau positive accounting theory.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi manajemen laba via ziddu


Mandatory Accounting Disclosure by Small Private Companies

Mandatory publication of accounts by private companies relates to several strands of the economic, accounting and financial literatures: deregulation of business formalities, mandatory financial disclosure, and investors’ protection and credit information. Findings in all these areas thus provide complementary insights on the issue under discussion.

The European Commission aims to improve the environment of businesses by simplifying business formalities, a popular policy since the European Charter for Small Enterprises (2000) and the efforts of the World Bank through the “Doing Business” project (2003-2007). This origin of the initiative helps explain the focus of the Commission on reducing costs without considering benefits. As we will see, however, mandatory publication of accounts is not only an issue of reducing the costs of operating businesses but also of easing businesses’ access to credit. The discussion therefore fits in with the argument given by Arruñada (2007, 2008) that simplification policies that narrowly focus on reducing the cost of institutional arrangements are counterproductive when they disregard the value of the services being provided (compare, however, Djankov et al., 2002, and Djankov, 2008).

Furthermore, in the case at hand, other strands of the accounting and finance literatures provide complementary perspectives for understanding the complex sets of costs and benefits involved. Since the 1960s, there has been substantial controversy on the balance of costs and benefits and the optimal content of mandatory financial disclosure. In the current regulatory framework of the USA,2 however, most of these discussions have focused on mandatory disclosure by public companies—that is, companies selling shares or bonds to individual investors in stock exchanges. These public companies are required by law to not only file financial information publicly on a periodic basis but also to disclose other information on the company, provide detailed data on new issues of securities and report any trade by insiders.

Even though the European Commission’s proposal refers to the mandatory publication of annual accounts by small private companies, part of the discussion on mandatory disclosure by public companies is applicable. Other parts of the analysis are substantially different, however, because of differences in the governance structure, size and availability of information of both types of companies, as well as differences in the contents of the information being mandatorily disclosed. In particular, previous research has focused on how mandatory disclosure for public companies affects the value of their equity by facilitating or not transactions on such equity. But the main interest for private companies lies in knowing how publishing their accounts could help their trading parties (mainly banks and suppliers) estimate their credit risk, thus expanding their access to credit and lowering its cost. The main effect should be to reduce information asymmetry in credit (including trade credit) transactions instead of in equity transactions.

Download journal of accounting and financial: ziddu


Monday, April 27, 2009

Aspek-aspek Biaya dalam Jasa Informasi

Abstrak

Nilai informasi sangat tergantung dari isi, cara perolehan, dan manfaatnya bagi pengguna dalam mendukung aktivitas yang sedang dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai informasi baru dapat ditentukan kemudian setelah informasi itu diperoleh. Langkah awal yang harus ditempuh untuk melakukan analisis biaya adalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi biaya yang dimaksud. Klasifikasi lebih didasarkan pada biaya total dari keseluruhan aktivitas jasa, yang terdiri atas biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tambahan.

Elemen-elemen yang harus diperhatikan oleh pengelola informasi dalam menentukan besarnya biaya informasi yang akan dibebankan kepada pengguna adalah biaya kerja/upah, biaya bahan atau koleksi, dan biaya tak terduga. Strategi penentuan biaya jasa informasi di perpustakaan sangat ditentukan oleh tujuan jasa yang ditawarkan, harga jasa/produk dan kebutuhan informasi yang berhubungan dengan data yang dicari serta tingkat kebutuhan pasar terhadap jasa yang telah dilakukan. Walaupun sebenarnya besarnya biaya dan harga jasa informasi dapat juga ditentukan melalui lima pendekatan utama, yaitu optimal pricing, pricing according to value, pricing for full cost recovery, marginal cost pricing, dan free distribution of services; namun demikian penentuan biaya pengelola jasa informasi, harus diperhitungkan nilai informasi yang terkandung didalamnya. Oleh sebab itu dalam perhitungan biaya jasa informasi, selain besarnya biaya tetap dan tidak tetap, pengelola juga harus mempertimbangkan besarnya biaya jasa dari sudut isi koleksi yang dimiliki dan besarnya nilai penyusutan dari masing-masing koleksi tersebut.

Kata kunci: biaya, jasa informasi, nilai informasi.

Informasi tidak akan hilang apabila diberikan kepada yang membutuhkannya, meskipun pada saat itu belum begitu penting. Seperti halnya dalam istilah ekonomi, nilai informasi akan semakin berkurang apabila hanya dipergunakan sendiri tanpa dilakukan pertukaran. Sebab melalui pertukaran, informasi yang diterima akan dikaji ulang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sehingga nilainya akan semakin bertambah sesuai dengan kajian dan kebutuhan informasi itu sendiri.

Profesional informasi biasanya puas apabila informasi yang telah diberikan sesuai dengan permintaan pengguna. Mereka tidak mempermasalahkan besarnya nilai informasi yang telah diberikan, sepanjang informasi tersebut bermanfaat dan digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebenarnya penentuan harga jasa informasi yang diberikan cukup penting sebagai upaya untuk menjaga kestabilan dan kesinambungan terhadap layanan yang diberikan, khususnya akibat semakin tinggi dan beragamnya jenis informasi yang diminta oleh pengguna. Sedangkan aktivitas pustakawan yang ada pada kenyataannya lebih terfokus pada layanan informasi pengguna. Oleh sebab itu perlu ditentukan layanan mana yang perlu di tanggung oleh pemakai sebagai pengguna informasi sesuai dengan aturan yang ada dalam setiap jenis layanan.

Guna mengoptimalkan layanan informasi yang ada, akhirnya pustakawan dituntut agar memiliki pengetahuan tentang cara menentukan biaya yang dimaksud. Selain itu juga mereka harus memiliki kemampuan untuk mengelola dana dari hasil pemasukan berdasarkan harga yang telah dibayarkan oleh pengguna. Harga tersebut dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan terhadap disain dan produk jasa yang akan dibuat selanjutnya. Besarnya harga diatas dapat dipakai sebagai bahan evaluasi terhadap produk yang telah dihasilkan. Pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan harus diperhitungkan sebagai bahan pertimbangan terhadap efektivitas produk jasa yang telah ditawarkan. Oleh sebab itu tanpa memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memprediksi besarnya biaya yang akan ditetapkan, pengelola perpustakaan akan dapat kehilangan peran dalam hal perencanaan dan pengendalian jasa yang telah dikelolanya. Dalam penetapan biaya jasa informasi, tentunya pengelola perpustakaan harus menyadari bahwa biaya jasa yang dimaksud berbeda dengan jasa produk lainnya. Pengguna informasi akan membayar jasa yang ditawarkan apabila informasi yang dibutuhkannya telah ditemukan. Hal seperti ini lebih dikenal dengan teori hubungan antara kualitas jasa dengan biaya yang telah ditetapkan.

Kegiatan layanan jasa informasi di perpustakaan tentunya jauh berbeda dengan jasa-jasa lainnya yang berupa produk/barang, khususnya dalam hal penentuan terhadap biaya langsung, biaya tak langsung, dan biaya gabungan. Biaya jasa informasi yang harus ditanggung oleh pengguna lebih banyak bersifat penggantian terhadap penggandaan. Demikian pula penentuan harga dari jasa yang ditawarkan termasuk biaya pengiriman terhadap penggandaan artikel yang dibutuhkan. Pendekatan yang dipakai dalam penentuan biaya jasa informasi di perpustakaan dapat dilakukan melalui perhitungan biaya marjinal dan biaya total, sebagai gambaran dasar terhadap unsur-unsur yang dilibatkan dalam setiap pencarian informasi.

Perubahan lingkungan di masyarakat (Davies 1992: 59) saat ini begitu cepat dan beragam, khususnya dalam hal permintaan informasi. Informasi yang diperoleh atas permintaan pengguna, selanjutnya dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan produk dan pemasaran. Selain itu dapat juga digunakan untuk mengendalikan aktivitas yang ada sebagai fasilitas terhadap produk yang telah direncanakan. Alasan ini tentunya mencakup keputusan terhadap besarnya biaya jasa dan proses analisis pengeluaran dalam suatu unit, yang tentunya melalui pemisahan biaya dari setiap produk atau jasa, dimana kegiatan bisnis dilakukan. Drury (1996: 27) menyatakan bahwa pengetahuan tentang biaya dan pendapatan melalui suatu aktivitas tertentu (isi informasi) begitu penting, khususnya sebagai bahan masukan untuk membuat suatu keputusan. Perhitungan biaya juga berarti pengukuran terhadap tampilan suatu produk. Sedangkan Virgo (1992: 261) mengungkapkan bahwa analisis biaya harus dilakukan, karena berhubungan erat dengan tampilan produk yang telah dihasilkan. Analisis tersebut dapat juga digunakan sebagai salah satu sumber data untuk mengevaluasi penampilan (performance) pegawai yang melaksanakan layanan jasa informasi dan produk yang dihasilkan dalam pengelolaan jasa tersebut. Hasil evaluasi ini selanjutnya dapat dipakai untuk memberikan penghargaan kepada pegawai yang bersangkutan, khususnya bagi mereka yang mampu menyelesaikan tugas atau tanggungjawab layanannya secara baik dengan anggaran yang rendah.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi jasa informasi via ziddu


Sunday, April 26, 2009

International Accounting Harmonisation - A Comparison of Spain, Sweden and Austria

Despite the effects of governments, through the European Union (EU), and the accounting profession, through the International Accounting Standards Committee (IASC), substantial variations in accounting rules and practice continue to arise between different European Countries. These variations give rise to both financing and compliance costs for European multinationals. In this paper we report on our discussions with leading accountants in Spain, Sweden, and Austria on the implementation of the EU 4th and 7th Company Law Directives on accounting harmonisation in their countries.

Specifically we:

1. Briefly survey the relevance of international accounting harmonisation for European business, and the work of two bodies, the EU and IASC, pursuing this objective:

2. Compare the rules of the government and the accounting profession in accounting regulation in each of the three countries.

3. Analyse the response of each country for the requirement of accounts to give a ‘true and fair view’ that lies at the heart of the EU 4th directive on accounting harmonisation.

4. Consider how each country has adapted the traditional tax-accounting link with the light of EU harmonisation.

Multi-national business has two main reasons to seek international accounting harmonisation:

1. The problems of analysing accounts from different countries increase finance costs in international capital markets. Choi and Levich (1990, 1991) report on a study of international investors. In response to the question 'Does accounting diversity affect your capital market decisions', 9 replied yes, and 7, no.

2. The cost of an accounting system in a multinational is increased both by the cost of designing, and running different accounting systems in different countries, and the cost of adjusting accounts from different countries to the accounting system of the country of the holding company for consolidation purposes. Cecchini (1988) reports on a survey of European multinational companies showing that different national accounting systems caused between 10% and 30% of the total accounting costs.

Both these factors hold back the ideal of building a comprehensive and effective free market in Europe. A third point of interest to the European Union (EU) is to avoid any individual member state setting low standards of accounting disclosure so as to attract registration of companies attached to secrecy, at the expense of other EU members. Other parties with a particular interest in achieving international accounting harmonisation are:

1 “The Big 6” leading international accounting firms, who can achieve substantial savings on costs of recruitment, training and staff development.

2. Developing countries, who by adopting internationally agreed accounting standards save the cost of devising these at the national level.

There is substantial evidence of international diversity in accounting regulation and practice at both the European level (see for example Simmonds & Azieres, 1989) and the International level (see for examples Radebaugh and Gray, 1993, The Economist 1992)

Download journal of international accounting: ziddu


Saturday, April 25, 2009

Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya

Abstrak

Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat mutlak bagi negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk memperkecil jarak ketertinggalannya di bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari negara-negara industri maju. Upaya pembangunan ekonomi di negaranegara tersebut, yang umumnya diprakarsai pemerintah, agak terkendala akibat kurang tersedianya sumber-sumber daya ekonomi yang produktif, terutama sumberdaya modal yang seringkali berperan sebagai katalisator pembangunan. Untuk mencukupi kekurangan sumberdaya modal ini, maka pemerintah negara yang bersangkutan berusaha untuk mendatangkan sumberdaya modal dari luar negeri melalui berbagai jenis pinjaman.

Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia.

Pada masa krisis ekonomi, utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga, menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak di Indonesia.

Kata kunci: utang luar negeri, sumberdaya modal

Pembangunan ekonomi merupakan tahapan proses yang mutlak dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat bangsa tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapat hanya dilakukan dengan berbekal tekad yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi lebih dari itu harus didukung pula oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi, baik sumberdaya alam; sumberdaya manusia; dan sumberdaya modal, yang produktif. Dengan kata lain, tanpa adanya daya dukung yang cukup kuat dari sumberdaya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun kepemilikan terhadap sumberdaya ekonomi ini oleh negara-negara dunia ketiga tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis sumberdaya ekonomi tertentu, ada pula yang kekurangan.

Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.

Selengkapnya download artikel jurnal ekonomi Indonesia via ziddu


Friday, April 24, 2009

Growth Accounting In Times of Turbulence And Death: Efficiency, Technology, Capital Accumulation and Human Capital 1929-1950

Growth accounting has long been an important tool to disentangle the proximate sources of economic growth (Solow: 1957, Griliches and Jorgenson: 1967). However, the method requires several assumptions about perfect competition in markets, the functional form of the production technology in use, Hicks-neutral technological change and constant factor shares in income. The majority of growth accounting studies has assumed that output is produced according to a two-input Cobb-Douglas aggregate production function. This reliance was questioned by Duffy and Papageorgiou (2000), who found that they could reject the Cobb-Douglas specification using a panel of 82 countries over a 28 year period. Furthermore, crosscountry evidence suggests large variances in labour shares of countries at various stages of development (Gollin: 2000). In addition, growth accounting results tend to be biased in the presence of inefficiency in the production process (Grosskopf: 1993).

Given some of the above-mentioned draw-backs, Kumar and Russell (2002) argue in favor of using a non-parametrical approach to growth accounting that neither requires assumptions about absence of market imperfection nor about the specific form of the production technology. In this study, we follow their reasoning and argue in addition that the notion of relative efficiency, or inefficiency, should be taken into account when performing historical growth accounting exercises, in particular during times of disintegration and war. In such turbulent situations institutional frameworks, access to world markets, war participation and the general economic environment are more likely to influence how efficient a country can transform the use of inputs into outputs.

The interwar and immediate post-war periods are interesting to study from this perspective since this period saw limited technological diffusion as countries became increasingly closed from world markets. In addition, the period was one of very modest capital growth in a majority of countries. In technological leading nations as USA and UK capital per worker hardly accumulated at all. In general, the period 1929-1950 saw the least capital growth per worker since 1890 (see Maddison: 1995). Nevertheless, there were increases in labour productivity during this period. Countries like Sweden, South Africa and Portugal nearly doubled in labour productivity between 1929 and 1950 whereas increases in Canada, Finland, Norway, Brazil, USA and New Zealand were substantial as well (around 50 percent). Foreman-Peck (1995, pp. 182-83) notes the paradox in that declining international trade, unemployment and general instability was accompanied by considerable real income increases in many countries. Foreman-Peck argues that prosperity of the time period was based upon the adoption of the revolutionary technologies from the late 19th century, especially the applications of electricity, the internal combustion engine and the factory mode of production that offered scopes for catching-up.

However, the scope for catching-up could be dependent on the general “social capability” of a nation, as argued by Abramowitz (1986). The general social capability of a nation can be seen as a component of human capital which can abridge the process of technology adoption for late-comers. At the start of the 20th century the rich nations had converged in terms of elementary-school enrolments and many of the poorer countries had started to expand mass primary schooling (Goldin: 2001, p.265). These educated cohorts started to enter into the workforce during the 1920’s and 1930’s and could have affected the general propensity for catching-up in certain nations, despite the world disintegration.

Download journal of accounting and economic: ziddu


Thursday, April 23, 2009

Aspek Perpajakan dalam Praktek Transfer Pricing

Abstrak

Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antardivisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan. Tetapi sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antardivisi. Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Untuk mengatur transfer pricing ini, undang-undang memberikan kewenangan kepada pihak fiskus untuk menentukan kembali jumlah harga transfer antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Kata kunci: transfer pricing, hubungan istimewa, perusahaan multinasional, perpajakan.

Dunia kini merupakan pasar tunggal. Bahan baku, tenaga kerja dan ketrampilan teknis berdatangan dari segenap penjuru dunia. Demikian pula pasar-pasar untuk produk dan jasa kini juga bersifat transnasional. Hal ini disebabkan karena lingkungan bisnis yang berubah secara cepat, baik secara domestik maupun global. Perubahan ini menuntut gerak cepat dari para pelaku bisnis untuk segera melakukan suatu proses adaptasi atau penyesuaian mengikuti gerak langkah perubahan lingkungan bisnis yang berubah tersebut. Dulunya sektor industri lebih bersifat padat karya atau lebih banyak memperkerjakan tenaga-tenaga manusia untuk melakukan proses pabrikasi. Tetapi seturut dengan perubahan lingkungan, proses pabrikasi mulai dilakukan dengan menggunakan robot-robot yang ektensif dan perlengkapan yang dikendalikan oleh komputer. Sistem tradisional yang digunakan untuk membebankan biaya ternyata juga dianggap gagal membebankan secara akurat biaya-biaya sumber daya pendukung yang kemudian tergantikan dengan sistem yang lebih modern, misalnya Activity Base Costing atau suatu sistem biaya modern, dimana biaya yang timbul didasarkan pada setiap aktivitas yang terjadi.

Fenomena globalisasi ini juga secara tidak langsung mendorong merebaknya konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi perusahaan. Dalam lingkungan perusahaan multinasional dan konglomerasi serta divisionalisasi terjadi berbagai transaksi antar anggota (divisi) yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan lain sebagainya. Transaksi-transaksi yang terjadi dalam lingkungan perusahaan seperti ini nantinya akan menyulitkan dalam penentuan harga yang harus ditransfer. Penentuan harga atas berbagai transaksi antar anggota atau divisi tersebut lazim disebut dengan transfer pricing.

Praktek transfer pricing ini dulunya hanya dilakukan oleh perusahaan sematamata hanya untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan, tetapi seiring dengan perkembangan zaman praktek transfer pricing sering juga dipakai untuk manajemen pajak yaitu sebuah usaha untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.

Selanjutnya download artikel jurnal akuntansi perpajakan via ziddu


Wednesday, April 22, 2009

Window-Dressing in German Interwar Balance Sheets

German accounting rules value assets and liabilities asymmetrically and thus lead to grossly distorted balance sheets. In the interwar debate on a reform of disclosure regulation, financial experts considered the (undisclosed) tax balance sheet, which had to be drawn up separately for the corporate tax assessment, as a paradigm for adequate financial disclosure. However, due to tax secrecy they were barred from analyzing tax documents. Using archival evidence, we analyze tax balance sheets from which the reliability of disclosed balance sheets of the interwar period can be assessed. It emerges that companies overstated their profits in the mid and late 1920s, but grossly understated them in the Nazi economy.

In March 1993 the German automobile concern Daimler-Benz disclosed a decision that immediately was considered as a milestone in German financial history. The company had decided to list its shares on the New York Stock Exchange (NYSE) and thus was the first German firm to accept the US-GAAP accounting standards. Although many other German firms would like to list their shares on NYSE as well, few have followed Daimler’s example so far. In contrast, senior executives of concerns like Bayer and Mannesmann publicly criticized Daimler for ‘bending’ to the Americans. The main reason for this attitude is that

‘German firms are obsessed with conservative accounting, and their standards allow managers to hide huge reserves on balance sheets without telling shareholders. [...] They fear greater disclosure and less conservative accounting will expose them to increased pressure from disgruntled investors. Most German managers still prefer the quiet life, even if that means giving New York a miss.’ (Economist, 1994: 83)

Hence financial analysts still have difficulties to assess the economic performance of German firms. This tradition of insufficient financial disclosure has affected German business historiography as well. Since German balance sheets are notorious for their unreliability, most authors shy away from financial issues.

This paper tries to show a way out of this dilemma, at least for the interwar period, and possibly for the 1950s and early 1960s as well. In the following section I summarize the arguments why the German disclosed balance sheet is an unreliable source. In the subsequent section I introduce the (undisclosed) tax balance sheet, a source not used by business or economic historians until very recently. The size of the gap between valuation in the disclosed and the tax balance sheets is shown by comparing the profitability of a sample of 106 industrial firms, with amazing results for the Nazi era. The last section concludes.

Download financial accounting journal: ziddu


Tuesday, April 21, 2009

Instrumen Derivatif: Pengenalan dalam Strategi Manajemen Risiko Perusahaan

Abstrak

Arus investasi yang masuk melalui pasar modal dan pasar uang mulai menggairahkan kondisi ekonomi Indonesia. Instrumen-instrumen investasi baru mulai ditawarkan di pasar modal dengan tujuan mengakomodasikan tingkat pengembalian dan risiko tertentu yang dikehendaki oleh para investor. Selain saham dan obligasi sebagai instrumen utama di pasar modal, pemerintah Indonesia juga menerbitkan obligasi sebagai sarana mendapatkan dana.

Sekuritas derivatif, seperti option dan futures, merupakan kontrak perjanjian antara dua pihak untuk menjual atau membeli sejumlah aktiva finansial atau komoditas pada tanggal tertentu di masa datang dengan harga yang telah disepakati saat ini. Option atau kontrak opsi memberikan hak, bukan kewajiban, bagi pemegangnya untuk melakukan sesuatu; sedangkan kontrak futures merupakan kewajiban antara dua pihak yang terikat dalam kontrak untuk memenuhi perjanjian dalam kontrak.

Tulisan ini akan membahas definisi, terminologi, profil keuntungan dan penggunaan kedua instrumen derivatif tersebut untuk strategi hedging perusahaan. Adapun untuk sarana hedging dapat digunakan komoditas, logam berharga, indeks saham, tingkat suku bunga, dan kurs nilai tukar.

Kata kunci: opsi beli, opsi jual, futures/forwards, lindung nilai

Setelah krisis moneter yang dialami Indonesia sedikit mereda, pasar modal dan pasar uang mulai bergerak cukup dinamis seiring dengan meningkatnya aliran dana yang masuk ke negeri ini. Perkembangan ini memacu para investor dan pelaku pasar untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih dan menanamkan uangnya pada instrumen-instrumen investasi di pasar modal dan pasar uang. Saham dan obligasi sebagai instrumen yang paling populer di pasar modal merupakan salah satu alternatif investasi bagi para investor. Untuk menghimpun dana masyarakat, pemerintah Indonesia juga menawarkan obligasi jangka panjang. Sedangkan instrumen pasar uang yang cenderung berjangka waktu pendek terdapat Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan surat berharga lainnya seperti commercial paper.

Dalam hal investasi, para investor menginginkan tingkat pengembalian tertentu atas sejumlah risiko tertentu yang ditanggungnya. Saham umumnya menawarkan tingkat pengembalian yang relatif lebih tinggi daripada obligasi. Pada return yang tinggi ini juga melekat adanya tingkat risiko yang relatif tinggi, dimana untuk saham tidak terdapat adanya janji pembayaran dividen setiap periode dan harga yang relatif ditentukan oleh pergerakan pasar modal. Investor yang risk-averse, atau tidak menyukai risiko, cenderung lebih suka berinvestasi di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang menjanjikan tingkat risiko dan pengembalian yang relatif lebih rendah.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi investasi via ziddu


Monday, April 20, 2009

Estimates of patient costs related with population morbidity: can indirect costs affect the results?

An accurate estimation of individual costs is essential in economic evaluation, payment systems analysis and in general, in a number of works which can be included into the health economics spectrum. Obtaining such individual or patient costs remains a complex challenge and faces numerous obstacles. The Bottom up microcosting methodology refers to the most detailed patient-specific resource consumption measurement and is considered the gold standard in the economic evaluation literature. However, its implementation is expensive and time consuming [1]. According to Wordsworth et al. [2] Bottom up microcosting is the desirable method for labour costs and other cost components that have a great impact on total costs. Tan et al. [3] showed how the selection of a different methodology (Top down microcosting or Bottom up gross costing) for labour costs and other critical cost components can produce differences in patient cost estimates in comparison with the gold standard. Clement et al. [4] investigated to what extent the selection of the costing methodology can affect the results of an economic evaluation and produce further wrong decisions. Other problems accepted by the health economics literature in the analysis of individual healthcare costs are the existence of missing data [5,6] or the application of inadequate costing methods [7].

The costing methodology we use combines the Bottom-Up and the Top-Down approaches described in Mogyorosy and Smith [1]. Thus, we add up direct costs of patients stemming from their related clinical records and calculate other costs from the different company departments. During year 2005, total expenses presented by the SSIBE balance sheet accounted for 45,868,690.45 € (excluding financial expenses, provisions, stock differences and taxes). In the next paragraphs we describe how the methodology deals with the different types of costs.

The first category of costs, direct costs (10.98% of the total expenditures), is obtained by a Bottom Up approach as the sum of balance sheet expenses directly related to patients. They include direct costs from blood transfusions, prostheses, intermediate products, and pharmaceutical consumption.

The second category of costs, departmental costs, suppose the most important proportion of costs within the institution (71.85%), and include costs of health services which can be charged to patients using average costs and individual patient data on use of services resources (Top- Down microcosting approach). Examples of the costs recorded in this category are the number of hospital stays, laboratory tests or rehabilitation sessions.

Lastly, the third category of costs, indirect costs (supposing 17.17% of total costs) include company fixed costs as management, accounting, building amortisation, and other costs not related to the activity. Differently to direct and departmental costs, indirect costs cannot be assigned directly to patients based on use. Therefore, we need to assign to each patient a fair proportion of the general overheads.

Download journal of accounting and economic: ziddu


Sunday, April 19, 2009

Penggunaan Teknologi Internet dalam Bisnis

Abstrak

Internet dalam bisnis digunakan untuk pertukaran informasi, katalog produk, media promosi, surat elektronik, bulletin boards, kuesioner elektronik, dan mailing list. Internet juga bisa digunakan untuk berdialog, berdiskusi, dan konsultasi dengan konsumen secara on-line, sehingga konsumen dapat dilibatkan secara proaktif dan interaktif dalam perancangan, pengembangan, pemasaran, dan penjualan produk. Pemasaran lewat internet ada 2 metode, yaitu push dan pull marketing. Keunggulan strategi bisnis yang dapat diperoleh dari internet adalah komunikasi global dan interaktif; menyediakan informasi dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan konsumen; meningkatkan kerja sama; memungkinkan untuk membuka pasar, produk, atau pelayanan baru; serta mengintegrasikan aktivitas secara on-line. Aplikasi Electronic Commerce ada 2, yaitu: Business-to-Consumer dan Business-to-Business Commerce. Pembayaran transaksi electronic commerce diatur dalam Sistem Electronic Funds Transfer, sedangkan keamanan datanya diatur oleh Secure Socket Layer yang dikembangkan menjadi Secure Electronic Transaction.

Kata kunci: internet, electronic commerce, business

Kemajuan di bidang teknologi, komputer, dan telekomunikasi mendukung perkembangan teknologi internet. Dengan internet pelaku bisnis tidak lagi mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi apapun, untuk menunjang aktivitas bisnisnya, bahkan sekarang cenderung dapat diperoleh berbagai macam informasi, sehingga informasi harus disaring untuk mendapatkan informasi yang tepat dan relevan. Hal tersebut mengubah abad informasi menjadi abad internet.

Penggunaan internet dalam bisnis berubah dari fungsi sebagai alat untuk pertukaran informasi secara elektronik menjadi alat untuk aplikasi strategi bisnis, seperti: pemasaran, penjualan, dan pelayanan pelanggan. Pemasaran di Internet cederung menembus berbagai rintangan, batas bangsa, dan tanpa aturan-aturan yang baku. Sedangkan pemasaran konvensional, barang mengalir dalam partai-partai besar, melalui pelabuhan laut, pakai kontainer, distributor, lembaga penjamin, importir, dan lembaga bank. Pemasaran konvensional lebih banyak yang terlibat dibandingkan pemasaran lewat internet. Pemasaran di internet sama dengan direct marketing, dimana konsumen berhubungan langsung dengan penjual, walaupun penjualnya berada di luar negeri.

“Pengguna internet di seluruh dunia berkisar 200 juta, 67 juta diantaranya berada di Amerika Serikat, internet di Indonesia berlipat dua kali setiap 100 hari” (Rhenald, 2000). Dari referensi tersebut penggunaan internet untuk aplikasi strategi bisnis di Indonesia peluangnya cukup besar, tapi banyak orang tidak menyadari, karena pemain bisnis di Indonesia masih banyak kalangan tua. Menurut Rhenald "Pasar internet adalah pasar orang muda, bukan orang tua." Dugaan Rhenald berdasarkan amatan saja "Pengguna internet di Indonesia sekitar 70% berusia 20-an, sekitar 25% usia 30-42-an, sisanya usia di atas itu. Sedangkan pemain-pemain utama bisnis berusia 45-an keatas. Mereka adalah generasi yang terlambat bersentuhan dengan internet, bahkan dengan komputerpun mereka terlambat" (Rhenald: 1999:23). Untuk memperkuat amatan Rhenald dapat dilihat pada Gambar 1, 91% pengguna internet berpendidikan SLA ke atas dengan persentase pengguna SLA yang terbanyak, yaitu: 46%. Tempat pengakses internet di Indonesia kebanyakan dari kantor(52%), warnet(26%), sekolah/kampus(19%), dan persentase lainnya dapat dilihat pada Gambar 2. Internet di Indonesia lebih banyak dipakai untuk fasilitas e-mail, yaitu sebanyak: 42%, persentase aktivitas di internet lainnya dapat dilihat pada Gambar 3. Penggunaan internet di Indonesia digunakan untuk keperluan bisnis sebesar: 43%, sedangkan keperluan pribadi sebanyak: 32% (Nielsen, 1999). Penggunaan internet di Indonesia untuk keperluan bisnis sebesar 43%, menunjukkan beberapa perusahaan telah menerapkan internet untuk berbisnis, yang dikenal dengan E-Business atau ECommerce.

Penggunaan internet dalam bisnis mengalami perkembangan, dari pertukaran informasi secara elektronik ke aplikasi strategi bisnis, seperti: pemasaran, penjualan, dan pelayanan pelanggan. Tabel 1 menunjukkan sepuluh perusahaan rangking tertinggi di Amerika Serikat yang telah menerapkan internet untuk strategi bisnis.

Internet mendukung komunikasi dan kerja sama global antara pegawai, konsumen, penjual, dan rekan bisnis yang lain. Internet memungkinkan orang dari organisasi atau lokasi yang berbeda bekerja sama sebagai satu tim virtual untuk mengembangkan, memproduksi, memasarkan, dan memelihara produk atau pelayanan. Dengan internet memungkinkan aplikasi Electronic Commerce (EC) dapat digunakan pada jaringan global, dan biasanya dilengkapi dengan aplikasi pemrosesan pesanan secara On-line, Electronic Data Interchange (EDI) untuk mengirim dokumen bisnis, dan keamanan sistem pembayaran Electronic Funds Transfer (EFT).

Akibat internet, pemasaran terhadap perusahaan, produk, dan pelayanan menjadi proses yang interaktif saat ini. Situs Web perusahaan bukan hanya sekedar menyajikan katalog produk dan media promosi, melainkan digunakan untuk berdialog, berdiskusi, dan berkonsultasi dengan konsumen secara On-line, bulletin boards, kuesioner elektronik, mailing lists, dan pengiriman surat elektronik. Sehingga konsumen dapat dilibatkan secara langsung dalam perancangan, pengembangan, pemasaran, dan penjualan produk.

Selengkapnya download artikel jurnal ekonomi bisnis internet via ziddu


Saturday, April 18, 2009

The so-called “External Partners” in the groups of corporations: a model of presentation in the consolidated statements

This paper studies, on the one hand, theories set out around the consideration of the external partners in the consolidated information and on the other hand, financial models that discuss the convenience of the separation or not of the different elements that form part of the liabilities of the balance sheet of the companies. A Model is proposed, the External Partners Model, which financially argues a certain presentation and processing of such and that, in our opinion, facilitates the analysis of the consolidated financial statements. This model is based on two hypotheses: (1) the economic and financial variables are not independent and (2) the value of the company depends, among other factors, of the type of sources that constitute their capital. These two hypotheses will imply that a separation should be included in the consolidated balance sheet between equity and liabilities as they are different sources of capital and then its separation will give relevant information to its users.

It could be said that Consolidated Financial statements try to reflect with a general perspective, the total amount of resources of a group of companies that are related to each other and put under a common direction. However, the problem that is found, in relation to the concept of Consolidation, is that this one can be understood of different ways according to the approach or interpretation given to consolidated information. Briefly, and even though in later sections these different theories can be subject of a more detailed study, it is possible to say that as for the processing of the consolidated information, there are diverse positions in the doctrine1:

a) the one that conceives consolidated financial statements as a prolongation of the parent company’s, well-known as Parent Company Theory. This theory is an exposition of a financial character.

b) the one that conceives consolidated financial statements as a reflection of the economic and financial situation of the group, doing without the distinction between dominant and filial or parent or dependent company. Its an exposition of an economic character ant it is known as Entity Theory.

Download journal of economic and financial: ziddu


Friday, April 17, 2009

Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja Masa Depan: Suatu Pengantar

Abstrak

Penilaian kinerja merupakan hal yang esensial bagi perusahan. Untuk memenangkan persaingan global yang semakin ketat ini, kinerja sebuah organisasi haruslah mencerminkan peningkatan dari satu periode ke periode berikutnya. Dewasa ini pengukuran kinerja secara finansial tidaklah cukup mencerminkan kinerja organisasi sesungguhnya, sehingga dikembangkan suatu konsep Balanced Scorecard. Konsep Balanced Scorecard mengukur kinerja suatu organisasi dari empat perspektif yaitu perspektif finansial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep Balanced Scorecard ini pada dasarnya merupakan penerjemahan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitor secara berkelanjutan. Tulisan ini menitikberatkan pada bagaimana penerapan konsep Balanced Scorecard di beberapa perusahaan di Amerika. Berbagai kendala dan permasalahan yang timbul dari penerapan konsep Balanced Scorecard menjadi masukan bagi perusahaan atau organisasi bisnis yang ingin menerapkan konsep ini. Bagaimanapun juga konsep ini akan membantu perusahaan untuk melakukan pengukuran kinerja secara lebih komprehensif dan akurat.

Kata kunci: Balance Scorecard, Perspektif Pelanggan, Proses Bisnis (Internal), Perspektif Finansial, Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran, Pengukuran Kinerja

Perkembangan teknologi yang terjadi sekarang ini tampak demikian pesat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan teknologi yang ada. Adanya perkembangan teknologi ini telah mengakibatkan iklim persaingan bisnis semakin ketat. Hal ini akan mendorong kebutuhan akan suatu informasi menjadi suatu hal yang esensial, sehingga iklim persaingan bisnis yang ada berubah dari persaingan teknologi atau industrial competition menjadi persaingan informasi (information competition). Tidaklah mengherankan jika persaingan informasi ini menjadi suatu hal yang esensial karena dengan adanya informasi yang dihasilkan untuk setiap aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan akan diperoleh data dan gambaran aktivitas yang telah dilakukan sehingga berdasarkan informasi tersebut akan diambil suatu keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas perusahaan secara keseluruhan di masa yang akan datang. Suatu keputusan yang baik dapat diambil atas dasar informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu.

Disamping pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki oleh perusahaan masih banyak manajer-manajer perusahaan yang menjalankan usahanya dengan sistem manajemen yang seakan-akan berorientasi pada masa yang lalu (backward) dan belum berorientasi pada masa depan (forward). Sistem yang lebih menitikberatkan pada aspek keterukuran objek yang menimbulkan biaya ini tampak dari adanya pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi-informasi yang dibuat berdasarkan laporan-laporan historis secara periodik. Sistem manajemen yang dilaksanakan oleh banyak perusahaan sekarang ini lebih memfokuskan pada kinerja keuangan yang diukur secara periodik dimana indikator-indikator yang terpenting adalah biaya-biaya yang dikeluarkan.

Adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke information competition ini dinamakan pergeseran paradigma (Ary Nugroho,1998:1). Pergeseran paradigma ini tentunya juga akan mengubah alat ukur atau acuan yang dipakai oleh perusahaan untuk mengukur kinerjanya. Pengukuran kinerja yang hanya didasarkan atas pengukuran finansial saja, dirasa sudah tidak lagi memadai. Perusahaan juga diharuskan melakukan pengukuran kinerjanya tidak hanya melalui pengukuran finansial saja tetapi juga melalui pengukuran non finansial, seperti tingkat kepuasan pelanggan, inovasi produk, pengembangan perusahaan dan pengembangan karyawannya. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi tingkat kepuasan konsumennya, melakukan inovasi produk dan pengelolaan sumber daya manusia tersebut akan memberikan keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang kuat bagi perusahaan yang bersangkutan.

Pada tingkat persaingan global ini, suatu keuntungan kompetitif perusahaan sangat diperlukan agar perusahaan dapat bertahan dalam persaingan. Kemampuan perusahaan dalam menciptakan keuntungan kompetitif ini akan memperkuat posisi perusahaan dalam persaingan bisnis dalam jangka panjang. Pihak manajemen mungkin berhasil memaksimalkan laba bersih dan membuat rasio keuangan secara baik seperti, ROA, ROI, Residual Income dan EPS, namun sering melupakan apakah perusahaan dapat bertahan dalam kurun waktu yang panjang.

Berbagai upaya dilakukan agar perusahaan mampu bertahan dalam iklim dunia usaha yang kompetitif, diantaranya perusahaan dituntut agar mampu mewujudkan strategi-strategi perusahaan jangka panjang. Strategi-strategi jangka panjang tersebut akan diwujudkan dan diterjemahkan dalam serangkaian action atau aktivitas perusahaan, oleh karena itu pengukuran kinerja hanya dari perspektif financial tidaklah memadai lagi sehingga diperlukan suatu alat yang dapat mengukur kinerja dari berbagai perspektif secara komprehensif.

Konsep Balanced Scorecard telah lama dikembangkan oleh Robert S.Kaplan dan David P.Norton (HBR, January,1992). Konsep Balanced Scorecard ini dikembangkan untuk melengkapi pengukuran kinerja finansial (atau dikenal dengan pengukuran kinerja tradisional) dan sebagai alat yang cukup penting bagi organisasi perusahaan untuk merefleksikan pemikiran baru dalam era competitiveness dan efektivitas organisasi. Konsep ini memperkenalkan suatu sistem pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu.

Selengkapnya download artikel jurnal informasi akuntansi via ziddu


Thursday, April 16, 2009

The effect of university culture and stakeholders’ perceptions on university-business linking activities

The interaction between university and business has been a subject of economic, political and social interest for several decades, and forms part of the debate that revolves around the relevance of universities in today’s world and the revolution occurring in higher education.

Universities are considered an important ingredient of the innovation formula in the new knowledge society, and as such they are experiencing important changes. From being the producers and guardians of knowledge for its own sake1, they are increasingly being asked to generate “useful” knowledge and to “transfer” it to the economic system. The concept of knowledge diffusion, therefore, has become as relevant to the university’s mission as knowledge creation.

As return on investment becomes the focal point of the global consumer capitalistic society, where accountability often turns to simple accounting and money becomes the measure of all things, universities are put under the ringer to account for the funds they receive (particularly public ones) and forced into designing profit-making strategies and increasing their interaction with the businesses that are at the end of the rope, exerting the major squeeze.

A serious debate has been taking place on whether implementing profit-making business related strategies will represent a positive or negative change for universities or even if they truly belong within the scope of university function. One extreme of this debate is represented by those who view the link with businesses as threatening the “real” role of university as unbiased generators of knowledge for the pursuit of profitable endeavours, while at the other extreme are those who consider the university another economic agent and, as such, believe that the financing of academic activities should be justified in terms of economic productivity.

This paper will discuss these different views and their effect on university organizational structure and function. It concludes that since the links with businesses arise as ad hoc solutions to intermittent situations, a culture that supports them has not yet been rooted within the university system and that instead, the prevailing culture and structure opposes the development of appropriate mechanisms to promote them. First, a reference framework for the analysis of university-business links is developed, followed by a description of the activities involved in these links and their accompanying organizational structures. Subsequently, a description of the USB is provided. The next section centres on the analysis of university’s decision and policymaking capabilities in the development of diffusion and transfer activities, focusing on the stakeholders’ perspective and sphere of influence. The remaining part of the paper proposes strategies and policy recommendations that can promote university-business relations, particularly those involved with the licensing of inventions and the generation of technology-based enterprises arising from research results.

Download economics journal paper: ziddu


Wednesday, April 15, 2009

Profesi Akuntan Merespon Dampak Memburuknya Kondisi Ekonomi

Abstrak

Dampak memburuknya kondisi ekonomi telah menimbulkan berbagai resiko audit. Praktek audit menjadi semakin kompleks. Isu going concern, makin maraknya tuntutan terhadap profesi akuntan, perubahan hukum dan peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak terhadap profesi akuntan telah menciptakan lingkungan resiko tersendiri. Profesi akuntan merespon perubahan ini dengan melakukan pengelolaan resiko yang memadai. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk memindahkan resiko yaitu pendekatan komprehensif dan penyusunan kebijakan dan prosedur yang memadai. Disamping itu Ikatan Akuntan Indonesia sebagai badan penyusun standar telah menerbitkan beberapa PSAK dan SPAP baru untuk memenuhi kebutuhan akan pedoman untuk melaksanakan pengauditan dalam lingkungan resiko.

Kata kunci: profesi akuntan, krisis ekonomi, lingkungan resiko, manajemen resiko

Krisis ekonomi yang melanda wilayah Asia membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kelangsungan hidup entitas usaha. Perubahan ini membawa resiko bagi profesi akuntan. Jika tidak hati-hati menjalankan profesinya, profesi akuntan, dalam hal ini auditor akan terancam kelangsungan profesinya. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dimasa depan sebagai dampak memburuknya kondisi ekonomi makin menambah berat tanggung jawab auditor. Jenis penugasan yang makin beragam yang pada kondisi ekonomi normal tidak ditemui, membawa resiko tersendiri bagi auditor.

Selain itu kondisi negara-negara di wilayah Asia yang sebelumnya tidak terlalu mempedulikan hukum telah bergeser pada situasi yang makin sadar hukum. Tuntutan terhadap auditor mulai marak. Untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi auditor perlu melindungi diri dari resiko tuntutan yang tidak pada tempatnya.

Berbagai upaya dilakukan oleh profesi auditor dalam merespon dampak dari memburuknya kondisi ekonomi. Kebutuhan untuk melakukan pengelolaan resiko agar terhindar dari ancaman tuntutan (litigation) dirasakan makin mendesak. Untuk itu profesi auditor telah melakukan berbagai pembenahan regulasi yang memungkinkan profesi ini untuk menjalankan profesinya dengan baik.

Auditor dapat mengendalikan atau memindahkan resiko melalui pendekatan komprehensif dan penyusunan kebijakan dan prosedur yang memadai. Resiko audit diawali sejak proses menerima penugasan dari klien, pelaksanaan penugasan sampai dengan penyelesain penugasan. Auditor harus memiliki prosedur yang sesuai dan merancang kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat.

Respon lain yang dilakukan adalah dengan diterbitkannya sejumlah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang baru dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) baru. Auditor juga memperhatikan regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Bapepam yang mempengaruhi perlakukan akuntansi. Kewaspadaan yang tinggi dan kehati-hatian dalam menjalankan profesi sangat diperlukan agar profesi auditor tidak terjebak pada ancaman tuntutan yang tidak diinginkan.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntan via ziddu


Tuesday, April 14, 2009

Earnings Management and Audit Adjustments: An Empirical Study of IBEX 35 Constituents

Nearly seven years after its collapse, Enron continues to fascinate those interested in earnings manipulation. Although Enron is the most popular example of fraudulent accounting disclosure, it is not clear what happened even after the court trials. Enron was permitted to book profits through means that were volatile and risky, but this specific activity did not break the law. So, how much of Enron's profits came from outright financial chicanery? And, how much profit resulted from exploiting accounting constructs such as mark-to-market accounting and the use of derivative instruments, which are legal and largely unregulated today?

The extent to which earnings are manipulated has long been of interest to analysts, legislators, researchers, and other investment professionals. Finding earnings manipulation is no small task, but despite the difficulties, the body of academic literature on the topic is growing. Today we would expect a company to manage earnings prior to its public securities' offering (Teoh, Welch and Wong, 1998) and when it is in financial distress (Beneish, 1997). Additionally, if a manager's compensation is strongly related to a company's profitability, we might be suspicious about the quality of financial results, especially if they seem to be extremely favorable (Healy, 1985).

When there are some doubts about the reliability of a company's qualitative financial disclosure, we may turn our attention to the auditor's report. In theory, the auditing process is supposed to serve as a monitoring device that reduces management incentives to manipulate reported earnings, as well as to detect earnings manipulation and misstatements. In practice, however, auditors may not be that efficient in enhancing the credibility of financial statements; the auditor-client relationship has peculiarities that could lead to a conflict of interest. Auditors may require an adjustment and a company to correct an earnings misstatement, but they are completely aware of the cost of these actions: An adjustment may strengthen an auditor's good reputation, but it would also reduce the auditor’s fee, which is usually a function of a company's size.

The conflict of interest in the auditor-client relationship casts doubt on the usefulness of external auditing. This empirical study contributes to the debate about the auditor's role in financial markets. It examines first the adjustments required by the auditor and relates them to the financial profile of an earnings manipulator. Then, it distinguishes the market consequences from earnings misstatements that have been made public with the audit adjustments, and concludes about the possible cost of this misstatement. Previous research can help us explain how large the earnings misstatement is on average, but not how it matches the profile of an earnings manipulator and if it has consequences on the stock exchange. This study sheds some light on the topic and concludes about the auditor's role in the efficient functioning of capital markets.

Download journal of business finance and accounting: ziddu