Tuesday, March 31, 2009

Penggunaan Metode By Purchase dan Pooling Of Interest dalam Rangka Penggabungan Usaha (Business Combination) dan Efeknya terhadap Pajak Penghasilan

Abstrak

Penggabungan usaha (business combination) terjadi jika dua atau lebih usaha yang terpisah bersama-sama menjadi satu entitas ekonomis. Ada beberapa sebab yang dijadikan sebagai alasan oleh perusahaan dalam melakukan penggabungan usaha yaitu manfaat biaya, risiko lebih rendah, penundaan operasi lebih sedikit, mencegah pengambilalihan, akusisi harta tidak berwujud dan alasan-alasan lainnya. Ada dua metode yang bisa digunakan dalam penggabungan usaha yaitu metode pembelian dan metode penyatuan kepentingan. Metode pembelian didasarkan pada asumsi bahwa penggabungan usaha merupakan suatu transaksi dimana suatu entitas memperoleh aktiva bersih dari perusahaan-perusahaan lain yang bergabung.

Pada metode penyatuan kepentingan, diasumsikan bahwa kepemilikan perusahaan-perusahaan yang bergabung adalah satu kesatuan secara relatif tetap tidak berubah pada entitas akuntansi yang baru, selanjutnya pada metode penyatuan kepentingan aktiva dan kewajiban dari perusahaan-perusahaan yang bergabung dimasukkan dalam entitas gabungan sebesar nilai bukunya. Apabila penggabungan yang dilakukan dengan menggunakan metode purchase, maka selisih antara nilai wajar (market value) dan nilai buku (book value) aktiva adalah penghasilan yang merupakan objek pajak.

Sedangkan apabila penggabungan badan usaha menggunakan metode pooling of interest tidak akan menimbulkan objek pajak penghasilan, karena harta perusahaan dinilai berdasarkan nilai buku (book value). Perusahaan yang memilih melakukan penggabungan dengan menggunakan metode ini diharuskan memenuhi beberapa persyaratan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Kata kunci: restrukturisasi, metode by purchase, metode pooling of interest, taxable income

Penggabungan usaha (business combination) atau yang biasa dikenal dengan konsolidasi atau merger merupakan salah satu bentuk tindakan restrukturisasi yang paling sering dipakai, dibanding tindakan-tindakan yang lainnya. Floyd A. Beams dan Amir Abadi Jusuf (1998:2-3) dalam buku Akuntansi Keuangan Lanjutan di Indonesia mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan yang muncul sehingga beberapa perusahaan mengambil tindakan untuk melakukan penggabungan usaha yaitu :

a. Manfaat biaya (Cost Advantange). Acapkali lebih murah bagi perusahaan untuk memperoleh fasilitas yang dibutuhkan melalui penggabungan dibandingkan melalui pengembangan, terutama pada keadaan inflasi

b. Risiko Lebih Rendah (Lower Risk). Membeli lini produk dan pasar yang telah didirikan biasanya lebih besar risikonya dibandingkan dengan mengembangkan produk baru dan pasarnya. Penggabungan usaha kurang berisiko terutama ketika tujuannya adalah diversifikasi

c. Penundaan Operasi Lebih Sedikit (Fewer Operating Delays). Fasilitasfasilitas pabrik yang diperoleh melalui penggabungan usaha dapat diharapkan untuk segera beroperasi. Sedangkan apabila membangun fasilitas perusahaan yang baru akan menimbulkan masalah yang baru juga misalnya perlunya izin pemerintah.

d. Mencegah Pengambilalihan (Avoidance of Takeovers). Beberapa perusahaan bergabung untuk mencegah pengambilalihan diantara mereka.

e. Akuisisi Harta Tidak Berwujud (Acquisition of Intangible Assets). Penggabungan usaha melibatkan penggabungan sumber daya tidak berwujud maupun berwujud. Akusisi atas hak paten, hak atas mineral, database pelanggan, atau keahlian manajemen mungkin menjadi faktor utama yang memotivasi suatu penggabungan usaha

f. Alasan-alasan lain. Selain untuk perluasan, perusahaan-perusahaan mungkin memilih penggabungan usaha untuk memperoleh manfaat dari segi pajak.

Meskipun pada dasarnya strategi penggabungan usaha yang dilakukan oleh beberapa perusahaan memberikan banyak manfaat, tetapi ada juga risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan yang melakukan penggabungan tersebut yaitu risiko sumber daya manusia, dalam hal ini dampak dari penggabungan usaha tersebut, biasanya menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan (Floyd A. Beams, 1998:2)

Selengkapnya download artikel jurnal via akuntansi pajak ziddu


Sunday, March 29, 2009

Suatu Pendekatan Baru dalam Product Development Costing untuk Barang-barang Industri

Abstrak

Dalam persaingan dunia bisnis yang sangat ketat, kemampuan perusahaan untuk dapat menciptakan atau mengembangkan produk baru sangat diperlukan. Dengan semakin ketatnya persaingan antar perusahaan tersebut produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan akan memiliki jangka waktu (umur) tertentu di pasaran. Khusus untuk barang-barang industri, daur hidup produk industri akan memiliki kecenderungan umur hidup yang semakin pendek terutama didukung dengan adanya perkembangan teknologi yang digunakan oleh perusahaan tersebut. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong dilakukannya proses pengembangan produk industri selain faktor laba (profit) yang diperoleh oleh perusahaan dengan melakukan usaha pengembangan produk. Dalam usaha pengembangan produk untuk barang-barang industri, perusahaan menggunakan berbagai metode untuk memperpendek siklus pengembangan produk industrinya. Meskipun demikian perusahaan masih tetap mengalami kesulitan didalam menentukan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengembangan produk industri yang masih berada pada tahap perkembangan produk. Suatu perusahaan industri haruslah mengetahui berapa biaya-biaya yang diperlukan untuk pengembangan produk yang dilakukannya dan menentukan tingkat aktivitas pengembangan produk industri yang membutuhkan biaya paling besar agar dapat melakukan perencanaan dan pengendalian biaya atas produk industri baru yang dikembangkannya. Dengan menggunakan sistem produk life-cycle costing perusahaan akan dapat mengantisipasi besarnya biaya yang muncul pada tiap-tiap tahap daur hidup produk dan melakukan pembebanan yang akurat atas produk industri baru yang dihasilkannya.

Kata kunci : produk industri, barang konsumsi, pengembangan produk, daur hidup produk, biaya berdasar daur hidup produk, pengembangan produk industri baru

Perkembangan dunia bisnis dewasa ini semakin cepat. Kemampuan suatu perusahaan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumennya merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh tiap organisasi bisnis manapun. Sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, maka persaingan antar perusahan pun semakin meningkat tajam. Perusahaan berlomba-lomba untuk menawarkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan dapat memberikan tingkat kepuasan tertentu bagi konsumennya. Bermacam-macam produk ditawarkan oleh perusahaan kepada konsumennya, meliputi barang-barang yang sifatnya barang konsumsi dan barang-barang yang bersifat industrial. Begitu banyaknya produk yang beredar di pasaran sehingga konsumen dapat dengan mudah memilih diantara berbagai macam produk yang ditawarkan.

Dengan adanya persaingan antar perusahaan semakin tajam, maka masingmasing perusahaan harus mampu mendeteksi apa yang menjadi keinginan konsumen. Ini bukan merupakan hal yang mudah karena apa yang diinginkan konsumen tersebut senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Disamping itu tingkat kestabilan kondisi pasar pun selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Menyadari hal tersebut, maka perusahaan selalu dituntut untuk dapat mempertahankan keberadaan produk yang dihasilkan dalam pasar persaingan yang sifatnya mudah berubah. Adanya keinginan konsumen yang berubah-ubah dari waktu ke waktu akan berpengaruh terhadap berapa lama produk tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau dengan kata lain akan berpengaruh terhadap siklus kehidupan suatu produk dalam masyarakat.

Produk, seperti halnya konsumen, memiliki siklus kehidupan tertentu. Pada satu saat, ketika produk tersebut sudah diterima oleh masyarakat, produk tersebut akan mendatangkan keuntungan maksimal bagi perusahaan. Tetapi pada satu saat, ketika produk tersebut tidak lagi dibeli oleh konsumen, maka permintaan terhadap produk tersebut akan menurun sehingga tidak lagi mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Dalam hal ini suatu produk dapat dikatakan mati. Siklus hidup suatu produk (atau sering dikatakan sebagai daur hidup produk) berbeda-beda antara produk satu dengan yang lainnya. Produk yang bersifat consumer akan memiliki daur hidup yang berbeda dengan produk yang bersifat industrial.

Siklus kehidupan (daur hidup) produk erat kaitannya dengan keuntungan yang didapat oleh perusahaan. Atas dasar pemikiran-pemikiran tersebut, maka perlu bagi suatu perusahaan untuk melakukan pengembangan produk atas produk yang telah dihasilkan dan dipasarkan, sehingga produk tersebut akan tetap dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Pengembangan produk juga memungkinkan perusahaan untuk terus menerus memproduksi barang-barang yang dibutuhkan dengan laba yang maksimum.

Barang-barang industri merupakan barang-barang yang seringkali diperdagangkan untuk menghasilkan barang lain. Barang-barang industrial ini memiliki karakteristik khusus sehingga daur hidup produk untuk barang-barang industrial ini tidak sama dengan barang-barang konsumen. Sejalan dengan perkembangan dunia industri, maka kebutuhan konsumen akan barang-barang industri, khususnya untuk industri manufaktur, akan semakin meningkat. Melihat hal tersebut maka tiap-tiap perusahaan industri manufaktur yang menghasilkan barang-barang industri, perlu melakukan pengembangan atas produk yang dihasilkan. Hal ini terutama dilakukan untuk mendukung peningkatan profit (laba) bagi perusahaan industri.

Proses pengembangan produk memerlukan berbagai macam biaya. Biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada produk ketika produk tersedia untuk dijual. Demikian pula halnya dengan barang-barang industri. Biaya-biaya yang besar jumlahnya akan dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan pengembangan produk terutama untuk barang-barang industri, sehingga pembebanan biaya-biaya pengembangan produk perlu diperhitungkan secara akurat. Sistem akuntansi tradisional memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam pembebanan biaya pengembangan produk. Dalam sistem biaya tradisional, biaya-biaya riset dan penelitian untuk pengembangan produk tidak diperhitungkan, apabila produk tersebut diproduksi maka barulah biaya-biaya produksi untuk memproduksi produk tersebut dibebankan kepada produk yang bersangkutan. Adanya keterbatasan tersebut akan mengakibatkan pembebanan biaya pengembangan produk kurang akurat, sehingga perlu dikembangkan suatu alternatif baru untuk pembebanan biaya-biaya pengembangan produk khususnya untuk barang-barang industri.

Selengkapnya download artikel jurnal sistem akuntansi perusahaan via ziddu


Friday, March 27, 2009

Audit Bisnis

Abstrak

Audit atas Laporan Keuangan (Financial Audit) bertujuan untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan suatu entitas menyajikan sejara wajar atau tidak posisi keuangan, hasil operasi dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Disini jelas terlihat bahwa fokus audit adalah laporan keuangan. Auditor lupa bahwa laporan keuangan merupakan suatu laporan transaksi bisnis perusahaan yang telah mengalami proses akuntansi (dengan suatu asumsi-asumsi tertentu) sehingga menjadi laporan keuangan. Selama proses akuntansi tersebut suatu transaksi bisnis kadang mengalami distorsi informasi. Contoh: suatu persediaan barang jadi yang secara fisik masih baik akan dilaporkan di dalam laporan keuangan sebesar cost-nya, tetapi kalau secara bisnis bisa dibuktikan bahwa atas barang tersebut pesaing bisa menjual barang dengan harga lebih murah atau telah ada barang pengganti maka atas barang tersebut harus disesuaikan pelaporannya. Informasi pesaing inilah yang tidak bisa dilaporkan dalam laporan keuangan.

Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka berpikir yang lebih luas bagi auditor dalam melakukan tugasnya terutama mengenai bisnis klien. Kerangka berpikir inilah yang akan dicoba dikupas dalam tulisan ini, yaitu untuk memeriksa laporan keuangan diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai bisnis entitas yang diperiksa

Kata kunci: audit atas laporan keuangan, distorsi informasi, auditor, bisnis entitas

Sejarah Auditing memiliki beberapa hal yang unik, diantaranya adalah pengakuan Auditing sebagai suatu profesi baru diakui pada awal abad ini, hal ini berlawanan dengan profesi hukum dan dokter yang telah diakui sejak lama. Pada tahun 1900, hanya ada kurang dari 250 orang CPA(Certified Public Accountant) di Amerika Serikat dan tidak lebih dari 1000 pekerja dipekerjakan di seluruh kantor akuntan di negara tersebut. Dewasa ini ada hampir 500.000 orang dengan lisensi CPA di Amerika Serikat. (Boynton, Kell, 1996, 8-9).

Audit atas laporan keuangan menggunakan laporan keuangan sebagai dasar utama di dalam mencari bukti-bukti dan memberikan opininya, sedangkan laporan keuangan sendiri merupakan gambaran penyajian kejadian bisnis yang bisa diukur dengan satuan moneter. Kejadian bisnis itu sendiri dalam perkembangannya telah mengalami pergeseran trend ke arah yang lebih komplek dan telah mencapai taraf signifikan. Berdasarkan hal inilah dirasa perlu untuk merumuskan kembali konsep audit yang relevan, tepat, dan dapat diandalkan .

Proposal konsep audit yang baru ini, selanjutnya disebut dengan istilah "Audit Bisnis", mengacu pada istilah Business Reporting yang merupakan prediksi pelaporan keuangan di masa yang akan datang. (Weygandt dan Noll, 1997). Mengapa digunakan istilah Audit bisnis? Alasannya sederhana, bahwa yang akan diperiksa pada masa yang akan datang adalah Business Reporting, oleh karena itu yang dilakukan adalah Audit terhadap Business Reporting yang dapat disingkat Audit of Business Reporting atau Audit Bisnis.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi bisnis via ziddu


Thursday, March 26, 2009

Pendekatan Integrasi dengan Basis Biaya Elementer: Alternatif Pengakuan Pendapatan Dalam Konstruksi Jangka Panjang

Abstrak

Laba adalah salah satu indikator yang acapkali dipergunakan sebagai dasar untuk mengukur keberhasilan seorang manajer. Oleh karena itu salah satu faktor pembentuk laba yaitu pendapatan harus diukur dengan wajar, dan harus dipastikan telah mengikuti prinsip-prinsip pengakuan pendapatan dan penandingan. Dalam pengakuan pendapatan untuk perusahaan konstruksi jangka panjang, penggunaan mentode persentase penyelesaian konvensional baik pendekatan fisik maupun biaya, ternyata mengandung kelemahan yang cukup serius, terutama jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip pengakuan pendapatan dan penandingan. Akibatnya laba sebagai ukuran kinerja menjadi bias. Kelemahan-kelemahan apa saja yang terdapat dalam metode tersebut? Apakah pendekatan integratif dapat menutupi kelemahan-kelemahan tersebut, sehingga pendapatan yang diakui pada periode berjalan lebih realistis untuk mencerminkan kinerja yang sesungguhnya?

Kata kunci: prinsip pengakuan pendapatan, prinsip penandingan, persentase penyelesaian dan pendekatan integrasi

Usaha untuk memenangkan posisi dan mengembangkan usaha berhubungan erat dengan faktor-faktor eksternal. Dalam hubungan ini perusahaan berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai keadaan keuangan perusahaan kepada para pemakai, khususnya para investor dan kreditor melalui laporan keuangan. Tujuannya adalah untuk membantu mereka dalam proses pengambilan keputusan ekonomik.

Laporan keuangan merupakan bagian utama dari pelaporan keuangan, yang di dalamnya terdiri dari beberapa elemen, antara lain yang relevan dengan penulisan makalah ini adalah laporan laba-rugi. Biasanya, yang menjadi pusat perhatian dalam laporan laba-rugi ini adalah angka-angka (pendapatan, beban dan laba) yang dihasilkan melalui suatu proses pengukuran. Supaya angka-angka tersebut lebih informatif dan tidak bias, maka haruslah disajikan secara layak dan wajar.

Pendapatan merupakan salah satu unsur utama dalam laporan laba-rugi, yang besarnya dinyatakan dengan angka Selama ini dalam perusahaan konstruksi untuk mengukur besarnya angka tersebut, digunakan: 1) metode kontrak selesai terutama untuk kontrak yang berjangka waktu pendek atau kontrak yang memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi dan 2) metode persentase penyelesaian. Metode persentase penyelesaian, mempunyai dua pendekatan yaitu pendekatan fisik dan pendekatan biaya. Dua pendekatan tersebut telah menghasilkan angka-angka yang menurut penulis kurang layak dan wajar, sehingga kurang representatif untuk periode berjalan. Kalau demikian halnya, maka informasi yang disajikan akan menyesatkan para pengambil keputusan. Kondisi ini merupakan masalah yang harus dicari pemecahannya.

Apabila digunakan pendekatan fisik untuk mengakui pendapatan dalam periode berjalan, maka besarnya angka yang dilekatkan pada pendapatan semata-mata hanya didasarkan pada kemajuan fisik (hasil yang telah dicapai) tanpa memperhatikan besarnya biaya atau usaha yang telah dicurahkan atau dikeluarkan untuk proyek dalam periode berjalan. Sebaliknya, apabila digunakan pendekatan biaya maka besarnya pendapatan yang diakui untuk periode berjalan semata-mata hanya didasarkan pada besarnya biaya dan usaha yang telah dicurahkan atau dikeluarkan tanpa mengkaitkannya dengan kondisi fisik atau hasil yang sebenarnya pada periode berjalan. Dua kasus ini dengan jelas memperlihatkan bahwa tidak ada proses matching antara pendapatan dengan beban dalam arti hubungan sebab akibat dan korelasi posistif. Akibatnya pendapatan yang disajikan tidak mencerminkan performance perusahaan, karena apa yang dilaporkan tidak sesuai dengan prestasi yang sebenarnya.

Di samping kelemahan-kelemahan yang sudah disebutkan di atas, sebenarnya ada banyak kelemahan lainnya seperti disebutkan dalam literatur-literatur akuntansi saat ini oleh karena itu kelemahan-kelemahan tersebut tidak penulis sebutkan lagi. Namun menurut pengamatan penulis masih ada satu kelemahan yang sangat besar pengaruhnya terhadap kelayakan dan kewajaran besarnya angka pendapatan yang selama ini belum pernah disinggung.

Selengkapnya download artikel jurnal keuangan via ziddu


Tuesday, March 24, 2009

Pengukuran Biaya Kualitas : Suatu Paradigma Alternatif

Abstrak

Peningkatan Kualitas merupakan suatu hal yang paling esensial bagi suatu perusahaan untuk tetap eksis dalam dunia bisnis yang competitif ini. Kini sudah tidak jamannya lagi perusahaan hanya mementingkan volume penjualan yang begitu besar untuk mencapai keuntungan yang maksimal, tetapi lebih berorientasi pada aspek kepuasan konsumen. Dengan adanya kemampuan perusahaan untuk memberikan kepuasan terhadap konsumen yang membeli produknya, maka secara otomatis perusahaan akan mencapai keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu dikembangkan berbagai cara dan teknik untuk mengidentifikasi besarnya biaya kualitas (kerugian yang muncul akibat barang yang dihasilkan menyimpang dari standar) suatu perusahaan. Apabila biaya kualitas yang muncul tersebut nampak dalam catatan akuntansi perusahaan yang bersangkutan, maka perusahaan akan lebih mudah melakukan pengendalian, tetapi apabila biaya kualitas tersebut sifatnya tersembunyi, maka akan lebih sulit untuk melakukan pengendalian dan estimasi. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk memecahkan masalah Hidden Quality Cost ini. Salah satu metode yang populer adalah dengan menggunakan metode Taguchi. Dengan metode Taguchi ini akan membantu perusahaan dalam melakukan pengendalian dan estimasi khususnya terhadap biaya kualitas yang tersembunyi.

Kata kunci : biaya kualitas, biaya kualitas tersembunyi, metode Taguchi

Dewasa ini terjadi perubahan pandangan mengenai kualitas. Suatu produk yang berkualitas tidak hanya merupakan produk dengan performance yang baik tetapi juga harus memenuhi kriteria kepuasan konsumen.Ini merupakan hal yang sangat penting bagi perusahaan terutama dalam persaingan bisnis yang begitu ketat. Bahkan Myron Tribus (Tribus.M, 1991:1)mengatakan bahwa,”..The problem is not to increase quality; increasing quality is the answer to the problem.” Sehingga dalam persaingan global dunia bisnis mencakup kemampuan suatu perusahaan : · untuk mengerti apa yang diinginkan konsumen dan berusaha untuk memenuhinya pada tingkat biaya yang paling rendah

· menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen dengan kualitas yang tinggi dan reliabilitas yang konsisten

· senantiasa mengikuti perkembangan tehnologi, politik dan sosial yang terjadi di lingkungan perusahaan

· dapat memprediksikan apa yang diinginkan konsumen bahkan sampai decade sepuluh tahun mendatang.

Perusahaan yang mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut akan dapat mempertahankan pasarnya dan meningkatkan laba.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi perusahaan via ziddu


Saturday, March 21, 2009

Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya

Abstrak

Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia.

Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara. Dengan demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja, yang umumnya bersifat jangka pendek, tetapi juga dengan melakukan pembenahan di sektor riil, yaitu dengan target utama mengeliminasi hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian nasional.

Kata kunci : inflasi, structural bottleneck.

Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.

Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan

ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).

Dengan adanya structural bottlenecks ini, dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara-negara yang sedang berkembang kadangkala menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek.

Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi. Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.

Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi domestik.

Selengkapnya download artikel jurnal keuangan Indonesia via ziddu


Tax Planning : Sebuah Pengantar Sebagai Alternatif Meminimalkan Pajak

Abstrak

Bukan merupakan rahasia umum lagi, jika ada usaha-usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, baik itu pribadi maupun wajib pajak badan untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar. Bagi mereka pajak dianggap sebagai biaya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha atau strategi-strategi tertentu untuk menguranginya. Usaha-usaha atau strategi-strategi yang dilakukan merupakan bagian dari tax planning. Tujuan yang diharapkan dengan adanya tax planning ini adalah meminimalkan pajak terutang untuk mencapai laba sebelum pajak yang optimal.

Biasanya startegi-strategi yang dilakukan dalam tax planning ini lebih pada memanfaatkan celah-celah atau lubang-lubang yang terdapat dalam undang-undang perpajakan. Oleh karena itu tax planning ini pada dasarnya tidak bertentangan dengan undang-undang.

Kata kunci : taxes, tax planning, tax evasion, tax avoidance, biaya fiskal

Death and taxes, adalah dua hal yang sebisa mungkin dihindari oleh banyak orang di dunia. Kalau yang pertama rasanya sulit, bahkan tidak mungkin, karena berkaitan erat dengan kehendak dari pemilik otoritas terbesar yaitu Tuhan. Alternatif yang kedua mungkin yang bisa dilakukan yaitu membayar pajak seminimal mungkin atau penghindaran diri dari pengeluaran uang untuk keperluan pembayaran pajak.

Sebenarnya bukan penghindaran diri atau pengelakan, karena pengelakan dari pembayaran pajak adalah cermin dari keengganan untuk ikut melaksanakan kegotongroyongan nasional, melainkan lebih ke arah mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.

Pernyataan bahwa wajib pajak memiliki kecenderungan untuk mengatur sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya adalah merupakan pernyataan umum yang tidak perlu lagi dibuktikan.

Hampir semua orang baik di negara yang sudah maju maupun yang belum berkembang, baik secara pribadi maupun kelompok (badan) berusaha untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar. Jangankan wajib pajak, pihak fiskus pajakpun mengetahui dan menyadari ada suatu kecenderungan dari wajib pajak pribadi, terutama badan untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar, dengan melakukan tax planning atau perencanaan pajak, baik secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion).

Pertanyaan yang akhirnya timbul adalah mengapa pajak itu dianggap sebagai suatu beban yang berat, kalau tidak boleh dibilang menakutkan, sehingga perlu adanya suatu usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayarkan? padahal untuk melakukan tax planning itupun perlu biaya besar?

Secara umum tax planning didefinisikan sebagai proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tax planning sebenarnya bagian dari manajemen pajak. Tujuan dari manajemen pajak umumnya sama dengan tujuan manajemen keuangan yaitu memperoleh likuiditas dan laba yang cukup. Manajemen pajak disini didefinisikan sebagai memenuhi kewajiban pajak yang benar, tetapi jumlah pajak dapat ditekan seredah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Dengan demikian, dikemudian hari tidak terjadi restitusi pajak atau kurang bayar yang mengakibatkan denda dan kewajiban-kewajiban hukum lainnya.

Ada beberapa cara yang biasanya dilakukan atau dipraktekkan wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Sophar Lumbantoruan dalam bukunya akuntansi pajak ( 1996: 489 ) yaitu :

· Pergeseran pajak (shifting), ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian, orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya.

· Kapitalisasi, ialah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli.

· Transformasi, ialah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.

· Tax Evasion, ialah penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan peraturan perpajakan.

· Tax Avoidance, ialah penghindaran pajak dengan menuruti peraturan yang ada.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi pajak via ziddu


Economic Value Added Sebagai Ukuran Keberhasilan Kinerja Manajemen Perusahaan

Abstrak

Kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasiorasio keuangan selama satu periode tertentu. Pengukuran berdasarkan rasio keuangan ini sangatlah bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, yang mana sebenarnya kinerja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun.

Diperlukannya suatu alat ukur kinerja yang menunjukkan prestasi manajemen sebenarnya dengan tujuan untuk mendorong aktivitas atau strategi yang menambah nilai ekonomis (value added activities) dan menghapuskan aktivitas yang merusak nilai (non-value added activities). Economic Value Added (EVA) sangat relevan dalam hal ini karena EVA dapat mengukur kinerja (prestasi) manajemen berdasarkan besar kecilnya nilai tambah yang diciptakan selama periode tertentu. EVA juga dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal goal setting, capital budgeting, performance assessment, dan incentive compensation suatu perusahaan. Pengaruh nilai tambah di dalam suatu perusahaan secara keseluruhan sangatlah penting sehingga hal ini jangan sampai terlewatkan dalam penyusunan strategi perusahaan.

Kata kunci : agency relationship, value added assessment process, economic value added, capital budgeting, incentive compensation.

Tujuan perusahaan hanya untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya sudah kurang relevan lagi di masa sekarang karena tanggung jawab perusahaan tidak hanya kepada pemilik saja. Tanggung jawab kepada seluruh stakeholder menjadi sangat penting sehingga hal ini menuntut perusahaan untuk menimbang semua strategi yang diambil dan dampaknya kepada stakeholder tersebut. Berdasarkan hal ini maka tujuan yang sesuai adalah untuk memaksimalkan nilai suatu perusahaan. Pada kasus perusahaan publik nilai perusahaan dikaitkan dengan nilai saham yang beredar di pasar. Penetapan tujuan yang benar akan sangat berpengaruh pada proses pencapaian tujuan dan pengukuran kinerja nantinya. Karena kesalahan menentukan tujuan akan berakibat pada kesalahan strategi yang diambil. Kesalahan pengukuran kinerja akan mengakibatkan kesalahan dalam memberi imbalan atas prestasi yang ada.

Kinerja dan prestasi manajemen yang diukur dengan rasio-rasio keuangan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena rasio keuangan yang dihasilkan sangat bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan. Dengan adanya distorsi akuntansi ini maka pengukuran kinerja berdasarkan laba per saham (earning per share), tingkat pertumbuhan laba (earnings growth) dan tingkat pengembalian (rate of return) tidak efektif lagi. Karena pengukuran berdasarkan rasio ini tidak dapat diandalkan dalam mengukur nilai tambah yang tercipta dalam periode tertentu, maka kritik diajukan tentang seberapa valid pengukuran kinerja berdasarkan rasio keuangan dapat menunjukkan kinerja sebenarnya dari manajemen perusahaan

Adanya Economic Value Added (EVA) menjadi relevan untuk mengukur kinerja yang berdasarkan nilai (value) karena EVA adalah ukuran nilai tambah ekonomis yang dihasilkan oleh perusahaan sebagai akibat dari aktivitas atau strategi manajemen. Dengan adanya EVA, maka pemilik perusahaan hanya akan memberi imbalan (reward) aktivitas yang menambah nilai dan membuang aktivitas yang merusak atau mengurangi nilai keseluruhan suatu perusahaan. Aktivitas yang value added dapat dipisahkan dari aktivitas nonvalue added berdasarkan proses value added assessment. Diharapkan pemilik perusahaan dapat mendorong manajemen untuk mengambil actions atau strategi yang value added karena hal ini memungkinkan perusahaan untuk beroperasi dengan baik. Manajemen akan digaji dalam jumlah besar, jika mereka menciptakan nilai tambah yang besar pula. Banyak hal lain dalam perusahaan dimana EVA juga berperan. Economic Value Added membantu manajemen dalam hal menetapkan tujuan internal (internal goal

setting) perusahaan supaya tujuan berpedoman pada implikasi jangka panjang dan bukan jangka pendek saja. Dalam hal investasi EVA memberikan pedoman untuk keputusan penerimaan suatu project (capital budgeting decision), dan dalam hal mengevaluasi kinerja rutin (performance assessment) manajemen, EVA membantu tercapainya aktivitas yang value added. EVA juga membantu adanya sistem penggajian atau pemberian insentif (incentive compensation) yang benar dimana manajemen didorong untuk bertindak sebagai owner.

Secara umum banyak buku atau literatur bisnis yang menekankan bahwa tujuan suatu perusahaan adalah memaksimalkan laba yang diperoleh dengan cara meningkatkan penjualan dan meminimalkan beban atau pengeluaran perusahaan. Masih banyak tujuan-tujuan lain perusahaan yang kesemuanya berorientasi pada maksimalisasi laba.

Dengan adanya perubahan yang pesat dalam dunia bisnis sekarang dimana perusahaan mulai berlomba untuk berinvestasi ke seluruh penjuru dunia, tujuan “tradisional” yang berorientasi pada laba sudah kurang relevan lagi. Pada masa persaingan ketat ini perusahaan dituntut untuk menetapkan tujuan dimana semua stakeholder dipertimbangkan suaranya. Stakeholder adalah “a person or group who has an interest in or benefits from the outputs of a business.” (Trischler, 1996:5)

Berdasarkan definisi diatas, maka stakeholder suatu perusahaan meliputi para pelanggan dan pemasok, manajer perusahaan tersebut, para pegawai dan pekerja, kreditor, pemerintah, dan masyarakat luas. Untuk menetapkan tujuan yang mencakup seluruh stakeholder, maka tujuan yang semula profit oriented berubah menjadi value oriented. Karena dengan berpedoman pada pencapaian nilai yang maksimal maka berarti perusahaan dapat mengolah sumber daya yang terbatas untuk menghasilkan nilai yang maksimal kepada para pemakai barang yang dihasilkan. Dalam buku Economic Value Added: The Quest for Value karangan G. Bennet Stewart dikatakan: “A quest for value directs scarce resources to their most promising uses and most productive users. The more effectively resources are deployed and managed, the more robust economic growth and the rate of improvement in our standard of living will be.“ (Bennet, 1993: 1)

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi manajemen perusahaan via ziddu


Wednesday, March 18, 2009

PSAK No. 52 - Mata Uang Pelaporan Sebuah Contoh Penerapan

Abstrak

Gejolak moneter yang terjadi sekarang ini membawa pengaruh pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya. Perubahan nilai tukar rupiah ini pada gilirannya akan mempengaruhi laporan keuangan perusahaan. Pengaruh yang terasa adalah bahwa laporan keuangan tidak bisa lagi mencerminkan posisi keuangan dan prestasi usaha perusahaan. Untuk itulah perusahaan mulai perbikir untuk mengubah mata uang yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan. Cara dan bagaimana mengubah mata uang pelaporan inilah yang selanjutnya diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No, 52

Kata kunci : PSAK No. 52, mata uang pelaporan, pengukuran kembali, penjabaran

Mata uang yang digunakan dalam menyajikan laporan keuangan, selanjutnya disebut mata uang pelaporan, akhir-akhir ini merupakan masalah tersendiri bagi perusahaan di Indonesia yang akan menyusun laporan keuangannya. Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah terus berfluktuasi dengan tidak menentu, sehingga perusahaan merasa bahwa laporan keuangan yang disusun berdasarkan mata uang rupiah tidak mencerminkan posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan, terutama bagi perusahaan yang transaksinya didominasi oleh mata uang selain rupiah. Perusahaan mulai berpikir untuk menyajikan laporan keuangan dengan mata uang yang kuat, selain mata uang rupiah atau menggunakan mata uang yang dominant dalam operasi perusahaan. Sebuah contoh yang sederhana, untuk perusahaan yang memiliki hutang dalam mata uang USD 100 juta saja, apabila nilai tukar rupiah pada tanggal neraca melemah Rp 1.000,00 maka perusahaan tersebut menyesuaikan hutangnya dan mengakui kerugian akibat selisih kurs Rp 100 milyar. Padahal kalau ia memilih menggunakan mata uang USD sebagai mata uang pelaporan perusahaan tersebut tidak akan mengakui kerugian akibat perubahan nilai tukar rupiah tersebut.

Dari uraian di atas timbul permasalahan yakni apakah boleh sebuah perusahaan mengubah mata uang pelaporannya. Permasalahan inilah yang selanjutnya diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 52, selanjutnya disebut PSAK 52.

Masalah mata uang pelaporan, sebelum dikeluarkannya PSAK 52 hanya terbatas pada bagaimana perusahaan menyajikan laporan keuangan apabila ia harus melaporkan laporan keuangan ke luar negeri (investor di luar negeri) karena perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa efek di luar negeri. Dalam hal ini investor yang ada di luar negeri membutuhkan informasi keuangan dalam mata uang yang sehari-hari mereka pakai dan supaya cepat bisa diperbandingkan dengan perusahaan lainya yang sejenis. Karena itulah perusahaan harus menyajikan laporan keuangan dalam mata uang negara dimana perusahaan tersebut mencatatkan sahamnya, beserta penyesuaian-penyesuian lainnya yang berkaitan dengan perbedaan standar akuntansi antara standar akuntansi di Indonesia dengan standar akuntansi di negara tersebut.

Masalah mata uang pelaporan juga terjadi apabila perusahaan memiliki aktivitas operasi di luar negeri, dimana aktivitas operasinya dilaporkan dalam mata uang setempat. Aktivitas operasi tersebut dapat berupa anak perusahaan atau cabang. Karena laporan keuangan perusahaan harus dikonsolidasikan atau digabungkan dengan laporan keuangan induk perusahaan atau kantor pusat maka laporan keuangan aktivitas diluar negeri yang masih menggunakan mata uang setempat harus diubah mata uang pelaporannya menjadi mata uang pelaporan induk perusahaan atau kantor pusat.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa permasalahan mata uang pelaporan sekarang ini tidak lagi terbatas pada kalau laporan keuangan harus diterbitkan untuk investor di luar negeri atau kalau memiliki aktivitas operasi di luar negeri tetapi sudah meluas kepada keinginan perusahaan untuk menyajikan laporan keuangan yang tidak menyesatkan akibat kondisi perubahan nilai tukar rupiah yang tidak stabil. Perusahaan mulai berpikir untuk menyajikan laporan keuangan dalam mata uang yang kuat (bukan rupiah) tanpa melihat apakah laporan keuangannya ditujukan kepada investor di luar negeri atau tidak. Permasalahan mata uang pelaporan inilah yang diatur dalam PSAK 52. Pernyataan ini efektif berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang mencakup periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2000 (PSAK 52 : 6)

PSAK 52 mengatur tentang mata uang yang digunakan oleh perusahaan dalam catatan akuntansi dan laporan keuangan. Disini berarti bahwa perusahaan setelah memilih suatu mata uang tertentu sebagai mata uang pelaporannya maka perusahaan tersebut pada periode akuntansi selanjutnya harus mengubah catatan akuntansi dan laporan keuangannya dalam mata uang yang baru, sesuai dengan mata uang pelaporan yang dipilihnya. Pernyataan ini harus diterapkan untuk semua perusahaan yang akan atau telah menggunakan mata uang selain rupiah sebagai mata uang pelaporan. PSAK 52 memperbolehkan perusahaan menggunakan mata uang selain rupiah sebagai mata uang pelaporan apabila mata uang yang akan dipakai sebagai mata uang pelaporan memenuhi kriteria sebagai mata uang fungsional.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi perusahaan via ziddu


Tuesday, March 17, 2009

Pengaruh Perkembangan Basis Data Relasional terhadap Teknik Double Entry Bookkeeping

Abstrak

Berawal dari timbulnya dugaan yang mengatakan bahwa dengan adanya basis data relasional yang memiliki kelebihan dalam hal menghilangkan redundancy data, akan menyebabkan teknik double entry bookkeeping akuntansi dapat ditinggalkan karena dianggap menghasilkan redundancy data. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah benar teknik double entry bookkeeping dapat ditinggalkan dengan adanya perkembangan basis data relasional.

Kata kunci : redundancy data, teknik double entry bookkeeping, perkembangan basis data relasional.

Meningkatnya kebutuhan informasi yang akurat, relevan, terpercaya dan yang dapat memberikan nilai tambah bagi para pelaku bisnis mendorong ditemukannya teknik pembukuan berpasangan (double entry bookkeeping). Teknik double entry bookkeeping dipublikasikan pertama kali pada tahun 1494 oleh Luca Pacioli dalam bukunya yang berjudul “Summa de Arithmatica Geometrica Proportioni et Proportionalita ” (Vernon Kam,1990:19).

Teknik double entry bookkeeping selalu menekankan jumlah di sisi debit dan kredit harus seimbang. Penemuan ini memacu perkembangan akuntansi , bahkan pada tahun 1901 sebagaimana dikutip oleh Tjiptohadi Sawarjuwono, Childs mengatakan :

It is a beautiful system, a science in fact. Alasannya karena semua komponen akuntansi saling berkaitan sedemikian rupa sehingga bila terjadi ketidakberesan pada salah satu perkiraan, pemakai dapat menelusuri dampaknya pada perkiraan-perkiraan yang lain, dan senantiasa menjaga keseimbangan antara debit dan kredit. Sehingga dapat membuahkan hasil yang memuaskan bagi pemakai” (Tjiptohadi Sawarjuwono,1997:11)

Dalam perkembangannya, akuntansi banyak menghadapi tantangan. Salah satunya berasal dari inovasi teknologi komputer. Terlebih dengan ditemukannya basis data (database) relasional oleh Codd pada tahun 1970 (Romney, Steinbart, Cushing, 1997:138). Basis data dilengkapi sarana pemakaian bahasa Query yang mudah cara penggunaannya dan memberikan manfaat yang lebih. Bahasa Query yang diaplikasikan pada basis data keuangan akan dapat menghasilkan informasi keuangan yang siap pakai dan memenuhi kebutuhan pemakai setiap saat. Laporan keuangan dapat dibuat dengan mudah, cepat, akurat, benar dan dapat dibuat dalam periode waktu yang diinginkan oleh pemakai laporan untuk diperiksa kebenarannya. Informasi mengenai aktiva tidak hanya dilaporkan berdasarkan historical cost, tetapi juga dilaporkan dalam current replacement cost dan market value (Romney, Steinbart, Cushing, 1997:156). Selain itu basis data juga menyediakan data-data non-keuangan misalnya data pelanggan, data produk dan lain-lain. Dengan demikian pelaku bisnis mempunyai kelebihan, yaitu memiliki sekumpulan data yang memberikan dukungan dalam menjalankan strategi pemasaran dan mengambil keputusan-keputusan yang bersifat strategik.

Tantangan di atas makin memacu para akuntan untuk meningkatkan pemahamannya akan basis data secara umum selain keahlian akuntansi yang dimilikinya. Hal ini dirasa perlu agar akuntan tidak sekedar mampu menjalankan praktek akuntansi secara manual, namun juga mampu menjalankan praktek akuntansi secara komputerisasi. Dengan demikian akuntan makin memiliki nilai tambah dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang berasal dari inovasi teknologi komputer, khususnya dengan adanya perkembangan basis data.

Maraknya kemajuan teknologi komputer yang mampu membuat atau menampilkan data keuangan, jurnal dan laporan keuangan setiap saat, akurat dan cepat mengakibatkan siklus akuntansi dengan cara manual menjadi tidak terpakai. Selain itu komputer juga mampu melakukan analisis laporan keuangan dan analisis pasar, sehingga peranan seorang akuntan menjadi berkurang. Fenomena tersebut menjadi makin kuat dengan munculnya isu yang mengatakan bahwa lambat laun teknik double entry bookkeeping dapat ditinggalkan akibat fasilitas yang diberikan oleh basis data (Romney, Steinbart, Cushing, 1997:156). Pembukuan secara berpasangan dianggap redundant dalam basis data. Redundancy tidak dikehendaki di dalam basis data karena salah satu tujuan dari basis data adalah berusaha untuk menciptakan efisiensi.

Pencatatan transaksi pada sisi debit dan sisi kredit dipandang oleh akuntan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan tidak dipandang sebagai duplikasi data. Debit dan kredit memiliki makna invested capital dan sources of invested capital. Pencatatan transaksi pada sisi debit dan kredit tersebut dipengaruhi oleh entity theory, dimana ada pemisahan kepemilikan antara manajemen perusahaan dengan pemilik perusahaan (William Paton, 1962:473).

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi keuangan via ziddu