Friday, May 29, 2009

Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya

Abstrak

Saat ini sudah terdapat banyak studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI). Namun demikian metodologi yang digunakan dan hasil studi masih sangat bervariasi. Meskipun faktor-faktor yang dianggap tetap (ceteris paribus) pengaruhnya sangat kuat, seperti variabel makro ekonomi yaitu pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tetapi masih juga terdapat kesimpulan yang berbeda dan menimbulkan berbagai perdebatan. FDI menjadi salah satu sumber pembiayaan (modal) yang penting bagi negara berkembang, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan melalui transfer asset dan manajemen, serta transfer teknologi guna mendorong perekonomian negara.

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan karakteristik dalam negeri suatu negara, yang akan dikombinasikan dalam periode jangka pendek dan jangka panjang dengan menggunakan perhitungan kuadrat terkecil sederhana (ordinary least square = OLS). Dengan mengaplikasikan model koreksi kesalahan (error correction model=ECM) dan Uji Kausalitas Granger, akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung (FDI) di Indonesia selama periode 1978 – 2001.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel ekonomi (GDP, Growth, Wage, dan Ekspor) mempunyai hubungan positif dengan FDI, sedangkan variabel non ekonomi yaitu stabilitas politik (SP) mempunyai hubungan negatif. Hal ini sejalan dengan hasil temuan empiris Schneider and Frey (1986) bahwa kestabilan politik mempunyai hubungan negatif dengan FDI.

Kata kunci: FDI, variabel ekonomi, stabilitas politik, Kausalitas Granger, ECM

Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. Indonesia masih belum mampu menyediakan dana pembangunan tersebut. Disamping berupaya menggali sumber pembiayaan dalam negeri, pemerintah juga mengundang sumber pembiayaan luar negeri, salah satunya adalah Penanaman Modal Asing Langsung (foreign direct invesment=FDI).

Sumber pembiayaan FDI ini oleh sebagian pengamat, merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang paling potensial dibandingkan dengan sumber yang lain. Panayotou (1998) menjelaskan bahwa FDI lebih penting dalam menjamin kelangsungan pembangunaan dibandingkan dengan aliran bantuan atau modal portofolio, sebab terjadinya FDI disuatu negara akan diikuti dengan transfer of technology, know-how, management skill, resiko usaha relatif kecil dan lebih profitable.

Selengkapnya download artikel jurnal investasi Indonesia via ziddu


Pengaruh Saling Ketergantungan dan Keselarasan Tujuan terhadap Kooperasi dan Kinerja Perusahaan Manufaktur pada Hubungan Kontraktual dengan Pemasoknya

Abstrak

Studi ini menganalisis pengaruh dan implikasi beberapa karakteristik perilaku terhadap kinerja perusahaan dalam hubungan kontraktual antara perusahaan manufaktur dan pemasok. Penelitian ini dikembangkan dari kerangka hubungan kontraktual (relational contracting).

Variabel-variabel yang diteliti terdiri saling ketergantungan, kepercayaan dan keselarasan tujuan sebagai variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel kinerja perusahaan melalui variabel kooperasi.

Berdasarkan model teoritis yang diajukan dalam peneltian ini teknikteknik statistik yang digunakan adalah analisis korelasi multivariat, analisis regresi dan analsis jalur digunakan untuk menganalisis data dan menguji hipotesis.

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang telah melakukan hubungan kontraktual dengan pemasoknya secara berkesinambungan minimal satu tahun dan barang yang dibeli tersebut mempunyai pengaruh dominan pada proses produksi. Sampel diambil secara purposive sebanyak 51 perusahaan manufaktur di Jawa dan Kalimantan.

Pengujian variabel-variabel penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner hasil modifikasi skala Likert menjadi enam skala pengukuran. Hasil uji statistik atas empat hipotesis menunjukkan bahwa tiga hipotesis nihil ditolak sehingga hipotesis kerja diterima yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara variabel variabel saling ketergantungan dengan kooperasi, variabel kepercayaan dengan kooperasi, keselarasan tujuan dengan kooperasi, variabel kooperasi dengan kinerja perusahaan. Variabel saling ketergantungan dengan kinerja yang semula tidak dihipotesiskan ternyata dari hasil uji statistik mempunyai hubungan yang signifikan. Terdapat satu hipotesis nihil yang tidak tidak berhasil ditolak yaitu variabel keselarasan tujuan dengan kooperasi.

Kata kunci: hubungan kontraktual, saling ketergantungan, kepercayaan keselarasan tujuan, kinerja perusahaan, kooperasi.

Sifat persaingan dibidang ekonomi telah mengalami perubahan, dari persaingan ceruk (niche competition) menjadi persaingan langsung (head to head competition). Kepemilikan sumber daya alam, modal dan teknologi produk bukan lagi merupakan unsur-unsur yang membentuk keunggulan kompetitif. Penemuan suatu teknologi proses menjadi lebih penting daripada penemuan produk baru. Mereka yang mampu menghasilkan produk yang lebih efisien dan lebih berkualitas akan dapat merebut pangsa pasar yang lebih luas (Thurow 1992: 28-58, 113-151).

Selama beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan manufaktur di Amerika Serikat (AS) masih mengadopsi metode-metode produksi dengan menggunakan parameterparameter tradisional untuk mengoptimalkan tujuan. Metode seperti economic order quantity dan reorder point yang membenarkan ketidakpastian dan kurang memacu para pelaksana untuk bekerja lebih cermat, memaksa perusahaan AS untuk menimbun persediaan dan memperpanjang throughput atau cycle time (Johnson dan Kaplan 1987: 210-216). Dipihak lain, perusahaan manufaktur Jepang lebih berkonsentrasi pada pengembangan teknologi proses melalui pendekatan inovatif dalam bidang produksi dan pengendalian persediaan, desain produk, serta perencanaan dan pengendalian kualitas. Hubungan jangka panjang dalam bentuk hubungan kontraktual (relational contracting) membutuhkan keseimbangan dalam adaptasi perilaku, yaitu perilaku hubungan antara perusahaan manufaktur dan perusahaan pemasok. Hubungan tersebut sebaiknya sangat dekat dan kooperatif. Kedua belah pihak akan melihat kepentingan bersama, dan karena itu suatu situasi yang mencerminkan saling ketergantungan, saling percaya, dan tujuan yang selaras menjadi sangat penting.

Semua perusahaan manufaktur di Indonesia dalam era globalisasi selayaknya berusaha untuk memproduksi barang berkualitas tinggi dengan biaya rendah dalam rangka meningkatkan daya saing baik dipasar domestik maupun pasar global. Situasi ini mendorong mereka untuk mengadaptasikan sistem manufaktur yang dapat mempercepat proses penciptaan nilai tambah, antara lain dengan melakukan hubungan kontraktual dengan para pemasok, maka topik mengenai faktor-faktor yang menentukan kesuksesan hubungan merupakan topik yang cukup menarik untuk menjadi obyek studi.

Selengkapnya download artikel jurnal perusahaan manufaktur via ziddu


Kajian terhadap Beberapa Metode Penyusutan dan Pengaruhnya terhadap Perhitungan Beban Pokok Penjualan (Cost Of Good Sold)

Abstrak

Setiap perusahaan wajib menerbitkan laporan keuangan, yang memberikan informasi mengenai hasil usaha, perubahan posisi keuangan kepada pihak yang memerlukan. Dalam menyusun laporan keuangan, perusahaan memiliki keleluasaan untuk memilih metode dan teknik sepanjang metode yang dipilih tersebut ada dalam SAK (Standar Akuntansi Keuangan).

Pemilihan metode akuntansi memiliki dampak yang sangat besar terhadap laporan keuangan yang dihasilkan. Dengan demikian dimungkinkan perusahaan yang sebenarnya memiliki kinerja yang sama dapat melaporkan hasil yang berbeda. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan dampak pemilihan metode penyusutan terhadap perhitungan beban pokok penjualan (cost of goods sold).

Kata kunci: metode penyusutan, beban penyusutan, aktiva tetap, beban pokok penjualan.

Setiap perusahaan yang ada dimanapun juga harus membuat apa yang dinamakan dengan laporan keuangan (Financial Statement) yaitu laporan yang berisi informasi perusahaan termasuk di dalamnya neraca, laba rugi, laporan perubahan modal, dan laporan arus kas beserta rincian masing-masing pos dalam laporan keuangan. Dengan adanya laporan keuangan ini maka pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan seperti pemilik modal dan pihak lain yang terkait dapat mengetahui kinerja dari perusahaan.

Penyusunan laporan keuangan tidak terlepas dari pemilihan metode-metode, teknik, dan kebijakan-kebijakan akuntansi. Pemilihan metode maupun teknik dalam akuntansi dapat berpengaruh terhadap pengakuan pendapatan dan beban (revenue recognition principle), perhitungan beban pokok penjualan (cost of goods sold), sehingga pada akhirnya mempengaruhi laporan keuangan yang dihasilkan.

Berbicara mengenai aktiva tetap tidak terlepas dari kebijakan dan metode penyusutan. Hal ini tergantung dari kebijakan perusahaan yang bersangkutan. Dimana antara satu dan lain perusahaan terutama yang sejenis misalnya tekstil belum tentu mempunyai kebijakan umur ekonomis aktiva yang sama walaupun metode penyusutan yang digunakan bisa sama. Membahas penyusutan itu sendiri tidak hanya membahas metode penyusutan yang ada berapa macam itu tapi juga dapat membahas tentang penentuan umur ekonomis dari aktiva tetap dalam hal ini mesin dan peralatan pabrik. Selain itu komposisi dari aktiva tetap yang dimiliki perusahaan dan juga jenis kegiatan usaha perusahaan tentunya dapat mempengaruhi pemilihan metode penyusutan.Pemilihan metode penyusutan haruslah dilakukan dengan benar dan tepat dan mempertimbangkan untung ruginya untuk masa mendatang. Karena itu beban penyusutan harus dialokasikan secara rasional dan sistematik agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang telah berlaku umum. Beban penyusutan aktiva tetap harus dialokasikan sepanjang umur ekonomis aktiva tersebut dalam menghasilkan pendapatan. Sebab jika beban penyusutan dialokasikan tanpa dasar yang benar maka hal itu dapat berpengaruh terhadap perhitungan beban pokok produksi/beban pokok penjualan karena beban penyusutan terutama mesin dan peralatan serta bangunan pabrik merupakan salah satu unsur yang signifikan dan bernilai material dari beban overhead pabrik. Hal-hal yang berkaitan dengan penyusutan dapat meliputi beberapa hal seperti metode penyusutan, kebijakan penentuan umur ekonomis aktiva tetap. Dalam pemilihan metode penyusutan ini bisa dipengaruhi oleh jumlah dan jenis aktiva tetap serta jenis kegiatan usaha yang dijalankan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi keuangan via ziddu


Transitory Economic Shocks and Civil Conflict

Is civil conflict triggered by transitory economic downturns? Answering this question is complicated by many difficult-to-measure economic, social, political, and institutional factors that may affect both income and the likelihood of civil conflict. In addition, economic downturns may partly be driven by the expectation of future civil conflict. Miguel, Satyanath, and Sergenti (2004) show how both these issues can be addressed. Using a panel-data setup to control for unobservables, they show that civil conflict in Sub-Saharan Africa is more likely to start following years of low rainfall growth and that low rainfall growth is also associated with low income growth. Based on their instrumental-variables estimation results, Miguel, Satyanath, and Sergenti conclude that negative (rainfall-driven) income shocks trigger civil conflict. This is in line with Collier and Hoeffler (1998, 2002, 2004) and Fearon and Laitin (2003), who have argued that economic variables are often more important determinants of civil conflict than political or social grievances.

Estimating the effect of transitory economic shocks on civil conflict involves an interesting issue that has not been analyzed so far. Consider Miguel, Satyanath, and Sergenti’s finding that civil conflict is more likely to start in year t, the lower rainfall growth between t-1 and t-2 (reproduced in Table 2, Panel B, column (7)). This result is consistent with conflict outbreak being most likely when a drought year at t-1 (a negative rainfall shock) follows an average rainfall year at t-2. But the result is also consistent with the view that conflict at t is most likely to start when exceptionally good rainfall conditions at t-2 (a positive rainfall shock) are followed by an average rainfall year at t-1.1 The general point is that because rainfall shocks are transitory, low interannual rainfall growth between t and t-1 could be due to a negative rainfall shock at t or due to mean reversion following a positive shock at t-1.2 The finding that civil conflict is more likely when rainfall growth is negative is therefore consistent with conflict being more or conflict being less likely following droughts.

It is important to understand whether civil conflict starts following positive or negative economic shocks. If civil conflict follows negative transitory shocks, conflict onset may be related to the temporarily low opportunity cost of fighting during transitory economic downturns. This explanation of the effect of income on civil conflict was suggested by Collier and Hoeffler (1998) and is also put forward by Miguel, Satyanath, and Sergenti (for a theory of the link between transitory shocks and civil conflict, see Chassang and PadrĂ³ i Miquel, 2006 and 20073). But rent-seeking explanations of civil conflicts appear more plausible than opportunity-cost explanations if conflict is more likely following positive economic shocks.

Download economic journal article: ziddu


Sunday, May 24, 2009

Pajak Penghasilan dalam Sebuah Kebijaksanaan

Abstrak

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut peraturan perundang-undangan, tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pemungutan pajak harus sesuai dengan prinsip keadilan. Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Ada kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang terkait dengan sistem perpajakan Indonesia. Kebijaksanaan tersebut adalah : jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang menjadi subyek pajak, apa saja yang menjadi obyek pajak, tarif Pajak Penghasilan dan prosedur pajak.

Kata kunci: pajak, prinsip kemampuan untuk membayar, benefit principle, keadilan horizontal, keadilan vertikal, obyek pajak, subyek pajak, tarif Pajak Penghasilan.

Ada keengganan yang timbul ketika pajak menjadi sebuah topik pembicaraan, karena berbicara mengenai pajak berarti berbicara mengenai pengeluaran yang manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung. Jika kita hanya melihat pajak dalam definisi di atas, berarti kita melihat pajak dalam suatu definisi lengkap yaitu : pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang menurut peraturan perundang-undangan tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Melihat definisi pajak secara lengkap ini, bisa membuat pembayar pajak berpikir kembali untuk mengeluarkan uangnya, khususnya jika tidak ada kata-kata …….”terutang menurut undang-undang.” Mengapa demikian, jika kita berpikir lebih lanjut, definisi pajak di atas jelas berseberangan dengan satu prinsip ekonomi ekonomi, yaitu bagaimana pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Ada kontradiksi, satu sisi uang dikeluarkan untuk membayar pajak yang kontra prestasinya atau manfaatnya tidak jelas yang bisa kita lihat dari penggunaan fasilitas-fasilitas umum, dimana di Indonesia fasilitas umum hampir tidak ada yang gratis. Buang air kecil dikenai tarif Rp 500,- lebih besar pembuangan, lebih besar juga tarifnya, padahal jika ditelusuri sejarahnya, pengadaan fasilitas umum itu menggunakan dana hasil pembayaran pajak. Sisi yang lain adalah sudut pandang prinsip ekonomi, jika perlu sama sekali tidak ada pengorbanan tetapi justru mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Ada suatu perbandingan yang porposional antara apa yang dikorbankan dengan manfaat yang diterima, meskipun ada upaya untuk memaksimalkan manfaat yang diterima. Terdengar cukup ekstrim, tetapi pandangan seperti ini tidak bisa dipungkiri memang ada dalam pemikiran para wajib pajak. Hal ini biasa dibuktikan dengan adanya upaya dari Wajib Pajak untuk melakukan usaha menghindarkan diri dari pembayaran pajak, baik secara legal maupun secara illegal. Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah tax avoidance untuk legal action dan tax evasion untuk illegal action.

Terlepas dari semuanya, tulisan ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara umum tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan pajak khususnya Pajak Penghasilan. Harapan yang diinginkan adalah terbukanya suatu pandangan positif bahwa pajak bukan hanya suatu pengorbanan yang tidak bermanfaat melainkan sebaliknya.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi pajak via ziddu


The Effect of University Culture and Stakeholders’ Perceptions on University-Business Linking Activities

The interaction between university and business has been a subject of economic, political and social interest for several decades, and forms part of the debate that revolves around the relevance of universities in today’s world and the revolution occurring in higher education.

Universities are considered an important ingredient of the innovation formula in the new knowledge society, and as such they are experiencing important changes. From being the producers and guardians of knowledge for its own sake1, they are increasingly being asked to generate “useful” knowledge and to “transfer” it to the economic system. The concept of knowledge diffusion, therefore, has become as relevant to the university’s mission as knowledge creation.

As return on investment becomes the focal point of the global consumer capitalistic society, where accountability often turns to simple accounting and money becomes the measure of all things, universities are put under the ringer to account for the funds they receive (particularly public ones) and forced into designing profit-making strategies and increasing their interaction with the businesses that are at the end of the rope, exerting the major squeeze.

A serious debate has been taking place on whether implementing profit-making business related strategies will represent a positive or negative change for universities or even if they truly belong within the scope of university function. One extreme of this debate is represented by those who view the link with businesses as threatening the “real” role of university as unbiased generators of knowledge for the pursuit of profitable endeavours, while at the other extreme are those who consider the university another economic agent and, as such, believe that the financing of academic activities should be justified in terms of economic productivity.

This paper will discuss these different views and their effect on university organizational structure and function. It concludes that since the links with businesses arise as ad hoc solutions to intermittent situations, a culture that supports them has not yet been rooted within the university system and that instead, the prevailing culture and structure opposes the development of appropriate mechanisms to promote them. First, a reference framework for the analysis of university-business links is developed, followed by a description of the activities involved in these links and their accompanying organizational structures. Subsequently, a description of the USB is provided. The next section centres on the analysis of university’s decision and policymaking capabilities in the development of diffusion and transfer activities, focusing on the stakeholders’ perspective and sphere of influence. The remaining part of the paper proposes strategies and policy recommendations that can promote university-business relations, particularly those involved with the licensing of inventions and the generation of technology-based enterprises arising from research results.

Download economic journal paper: ziddu


Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia

Abstrak

Earnings management merupakan tindakan manajemen yang berupa campur tangan dalam proses penyusunan laporan keuangan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraannya secara personel maupun untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian ini merupakan hasil replikasi dari penelitian Dechow et.al (1996) yang menguji sebab dan konsekuensi earnings management pada perusahaan yang menjadi subjek diberlakukannya AAER(Accounting and Auditing Enforcement Release) oleh SEC (Securities Exchange Commision). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris pengaruh reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage, dan persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO terhadap earnings management pada perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offerring) di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1994 sampai dengan 1997. Metode analisis statistik yang digunakan adalah multiple regression.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya faktor leverage yang berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Hal ini berarti earnings management berkaitan dengan sumber dana eksternal khususnya utang yang digunakan untuk membiayai kelangsungan perusahaan.

Kata kunci: earnings management, discretionary accruals, initial public offering (IPO), leverage

Laporan keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Pentingnya laporan keuangan juga diungkapkan Belkoui (1993) bahwa laporan keuangan merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik. Salah satu parameter penting dalam laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba.

Menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1, informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen. Selain itu informasi laba juga membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan di masa yang akan datang. Adanya kecenderungan lebih memperhatikan laba ini disadari oleh manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya perilaku menyimpang (dysfunctional behaviour), yang salah satu bentuknya adalah earnings management.

Belum ada definisi yang jelas tentang earnings management. Masing-masing peneliti memberikan definisinya. Dechow, et.al (1996) mendefinisikan earnings management sebagai earnings manipulation, baik di dalam maupun di luar batas Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Scott (1997) mendefinisikan earnings management sebagai tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan. Peneliti membatasi earnings didasarkan pada sifatnya, hal ini dikarenakan masih terdapat kerancuan mengenai terminologi earnings dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia. Peneliti mengasumsikan earnings terdiri atas laba tunai dan komponen komponen accruals baik yang berada di bawah kebijakan manajemen (discretionary) maupun yang tidak (nondiscretionary).

Earnings management sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang menjadi pendororng timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi earnings management. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip oleh Sugiri (1998) membagi motivasi earnings management menjadi 3, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.

Dechow, et.al (1996) mengidentifikasi faktor demand for external financing, insider trading, debt, bonus, dan governance structure sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earnings management. Terdapat berbagai macam proxy yang digunakan untuk mengukur faktor-faktor tersebut. Beberapa di antaranya adalah leverage, reputasi auditor, dan jumlah dewan direksi. Selain ketiga faktor di atas, penelitian ini juga menambahkan satu faktor baru, yaitu persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi manajemen via ziddu


Monday, May 18, 2009

The Drive for Quality - The Impact on Accounting in the Wine Industry

In this paper we take an example of an industry, wine production, where in a number of countries there has been a movement towards expanding higher quality production. We report on interviews with wine producers in the US, Canada, Australia, New Zealand and Spain, and identify a variety of ways in which a more sophisticated approach to management accounting has become necessary as a result of the drive for quality.

Bloom et al (1994) have argued the vital role of the pursuit of quality in influencing management and accounting systems:

"The emphasis on quality involves co-operation, not only within a firm, but also with suppliers and customers. These concepts are associated with strategies such as Just-in-Time (JIT) manufacturing and with computer integrated manufacturing systems. All of these technological changes are based, for effectiveness, on concepts of continuous learning, team work, and flexibility.... No longer can accounting be considered a neutral and objective function independent of political power and social concerns. Nor can accounting possibly focus safely on functional tasks without addressing social and economic consequences of accounting standards. (p 44).

Accounting issues arising from the move to quality in the wine industry include:

1. Valuation problems of higher quality grapes.

2. Cost allocations between a wider range of products

3. Longer maturing periods give rise to questions of whether finance costs should be imputed to inventory, and also exacerbate the distortion of stock values arising from inflation.

4. Higher quality wine production involves using barrels of different costs and useful lives.

5. Higher quality wines call for more sophistication in price setting.

6. There is a danger that a tax regime that operates fairly for bulk low quality production will inadvertently discriminate against higher quality production.

The Accounting Problems

The question of what constitutes an equitable level of excise duty on wine has been extensively debated both in relation to the contrast between high quality and lower quality wines and in relation to the treatment of wine compared to other forms of alcohol. Our survey indicates that there is also an inconsistency in the impact of income taxes on the profits of higher quality as compared to lower quality wines. This arises because:

1. High quality wine is held in stock over periods so long that, even in times of low inflation, there is a material difference between the historic cost of wine sold and the replacement cost at the point of sale. To maintain the operating capability of the business it is necessary to replace stock at this higher current replacement cost, and since there is no tax relief on this necessary increased working capital requirement it must be met out of the after tax profit. Low quality wine production, with short stockholding periods, does not face this problem.

2. In most jurisdictions the tax authorities require that barrels be treated as a fixed asset and amortised for tax purposes over a standard prescribed asset life, either on a straight line or a reducing balance basis. For a high quality winemaker the barrel serves two purposes, in the first two or three years of use the oak supplying key elements of flavour to the wine and subsequently, when these are largely extracted, having a much lower value as a simple storage vessel. The tax system fails to allow for the heavy true depreciation of the barrels in those early years. Low quality producers buying cheap barrels, sometimes second-hand from high quality producers, use the barrel consistently for storage and so are more fairly treated by the tax system.

Download accounting journal paper: ziddu


Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intentions pada Staf Kantor Akuntan Publik

Abstrak

Tingkat keinginan berpindah yang tinggi para staf akuntan telah menimbulkan biaya potensial untuk Kantor Akuntan Publik (KAP). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suwandi dan Indriantoro (1999) telah berhasil mengidentifikasi proses keinginan berpindah, yang berhubungan dengan anteseden dan konsekuensi dari ketidakamanan kerja.

Respon 30 staf akuntan dari beberapa KAP terhadap kuesioner yang dibuat untuk mengukur berbagai variabel, dianalisis menggunakan kofisien korelasi Pearson. Hasil dari studi ini secara umum tidak konsisten dengan Suwandi dan Indriantoro (1999) karena ditolaknya beberapa hipotesis. Studi ini mengidentifikasi bahwa KAP harus memberi perhatian terhadap beberapa faktor organisasional, seperti komitmen organisasional, konflik peran, ketidakjelasan peran, dan perubahan organisasional.

Kata kunci: konflik peran; ketidakjelasan peran; perubahan organisasional; ketidakamanan kerja; komitmen organisasional; keinginan berpindah.

Kinerja suatu perusahaan sangat ditentukan oleh kondisi dan perilaku karyawan yang dimiliki perusahaan tersebut. Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat dirusak, baik secara langsung maupun tidak, oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit dicegah terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah keinginan berpindah (turnover intentions) yang berujung pada keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya. Dengan tingginya tingkat turnover pada perusahaan, akan semakin banyak menimbulkan berbagai potensi biaya, baik itu biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, maupun biaya rekrutmen dan pelatihan kembali (Suwandi dan Indriantoro 1999).

Dalam beberapa kasus tertentu, turnover memang diperlukan oleh perusahaan terutama terhadap karyawan dengan kinerja rendah (Hollenbeck dan Williams 1986), namun tingkat turnover tersebut harus diupayakan agar tidak terlalu tinggi sehingga perusahaan masih memiliki kesempatan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan atas peningkatan kinerja dari karyawan baru yang lebih besar dibanding biaya rekrutmen yang ditanggung organisasi.

Turnover intentions harus disikapi sebagai suatu fenomena dan perilaku manusia yang penting dalam kehidupan organisasi dari sudut pandang individu maupun sosial, mengingat bahwa tingkat keinginan berpindah karyawan tersebut akan mempunyai dampak yang cukup signifikan bagi perusahaan dan individu yang bersangkutan (Suartana 2000).

Saat ini tingginya tingkat turnover intentions telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan. Bahkan beberapa manajer personalia mengalami frustrasi ketika mengetahui bahwa proses rekrutmen yang telah berhasil menjaring staf yang dapat dipercaya dan berkualitas pada akhirnya ternyata menjadi sia-sia karena staf yang baru direkrut tersebut telah memilih pekerjaan di perusahaan lain (Dennis 1998).

Pada lingkungan profesi akuntan publik sendiri, turnover yang dihadapi KAP telah didokumentasikan dengan baik lewat berbagai literatur profesional dan akademik Berbagai penelitian untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi turnover akuntan publik juga telah dilakukan. Secara umum, hasil dari berbagai penelitian tersebut menyarankan bahwa komitmen organisasional dan kepuasan kerja merupakan anteseden (variabel pendahulu) dari keinginan akuntan untuk mencari alternatif pekerjaan lain. Pasewark dan Strawser (1996) mengutip kesimpulan penelitian Bline et. al. (1991), Snead dan Harrel (1991), Harrel (1990), dan Rasch dan Harrel (1990), mengatakan bahwa dengan meningkatkan level komitmen organisasional dan kepuasan kerja yang dimiliki akuntan akan menekan tingkat turnover.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntan publik via ziddu


The Influence of Accounting Information Use on Small Farm Inefficiency

Wilson, Hadley and Ashby (2001) provide evidence that wheat farmers in eastern England who seek information, have more years of managerial experience, and have a large farm are associated with higher levels of technical efficiency. To our knowledge, this is the only empirical study in the economic literature that explains the influence of management on technical efficiency by including variables that relate both personal aspects and aspects of the decision-making process of the farmer. These authors constructed an “information seeking” variable by summing the number of information sources the farmer declared to use out of the 16 listed in a questionnaire (personal, written, electronic and other sources). However, the decisionmaking process and the use of accounting information in the decision-making process were not explicitly considered in this study. The scale, scope and quality of information are a crucial element in the decisions managers make. One important component of a modern information system is accounting information. It plays an important role in planning, implementation and control that may greatly influence farm decisions, practices and performance. This is a generalized assumption applied to agriculture, despite the low use of accounting in this sector (Poppe, 1991). For example, Luening (1989) states that farm accounting provides information on the farm’s financial position and performance, a diagnostic tool for identifying strengths and weaknesses, and a planning tool. However, little empirical research has been done to verify that accounting will improve farm performance. This lack of empirical research is also applicable to small firms (Mitchell et al., 2000). Verstegen et al. (1995, 1998), Lazarus et al. (1990) and Tomaszewski et al. (2000) performed regression analysis to demonstrate that the use of management information systems improves profits and performance in sow-herd and dairy farms. However, to our knowledge no previous production frontier studies have included the use of accounting information by farmers to explain technical farm efficiency. Trip et al. (2002) showed positive associations between the efficiency of commercial greenhouse growers and monitoring and firm evaluation.

The principal aim of this paper is to estimate a translog stochastic frontier production function in the analysis of 147 mixed Catalan farms in the period 1989-1993, in order to attempt to measure and explain variation in inefficiency scores with a one-stage approach. The model uses gross value added as the output aggregate measure, instead of the physical output quantities or total revenues used in other studies. Total employment, fixed capital, current assets, specific costs and overhead costs are introduced into the model as inputs in order to obtain a detailed modelling of the production function. Monetary output and input measures are obtained following the methodology of the Farm Accountancy Data Network (FADN) procedures established by the European Commission. The model allows efficiency scores to vary over time, and inefficiency effects to be a function of a wide set of explanatory variables, in which farm management capacity and farm environment play an important role. The main focus of this study is to explain the influence of an important aspect of the decision-making process, accounting-based information, on output efficiency of mixed farms in Catalonia. The hypothesis to be tested is that the use of accounting information in the farm decision-making process as a planning and a control tool may positively contribute to increasing their output efficiency.

This paper differs from much previous research by estimating the sources of inefficiency with a stochastic production frontier model for a balanced panel data set of farms located in a European Union country. The model is specially designed to obtain evidence regarding the influence of the use of accounting information in the decision-making process on farm efficiency variation.

The paper continues with the following structure. Section 2 outlines the stochastic frontier approach with the inefficiency effects model. The empirical specification of the model is presented in Section 3. Empirical results derived from this model and discussion is presented in Section 4. The empirical results allow us to present efficiency scores, and factors explaining efficiency. The final section summarizes the findings of this research.

Download journal paper of accounting information: ziddu


Tuesday, May 12, 2009

Pendekatan Model Rea dalam Perancangan Database Sistem Informasi Akuntansi Siklus Pendapatan

Abstrak

Database yang memenuhi aturan normalisasi diperlukan untuk menunjang Sistem Informasi Akuntansi (SIA) terkomputerisasi. Alat yang biasa digunakan untuk merancang database adalah Entity Relationship Model (Model E-R). Namun aturan penggambaran diagram tidak begitu jelas, sehingga mempersulit perancang data untuk membentuk database yang memenuhi aturan normalisasi. Model REA merupakan pengembangan dari Model E-R. Model REA menerapkan prinsip give-toget, sehingga mempermudah pembentukan model data.

Dalam tulisan ini dibahas Logical dan Physical View data, schema, Model REA, menyusun diagram REA, tahap-tahap perancangan database dan peran serta akuntan, serta cara mengimplementasikan Model REA ke database relasional, khususnya pada siklus pendapatan.

Kata kunci: Database, Model E-R, Model REA, SIA, Siklus Pendapatan

Kemajuan teknologi komputer dan informasi berdampak pada cara pencatatan akuntansi tradisional, dimana penyajian informasi keuangan dari SIA manual yang berdasarkan historical cost, dengan adanya teknologi komputer, maka informasi keuangan dapat disajikan berdasarkan current replacemenrt cost dan market value. SIA yang terkomputerisasi memungkinkan pemakai laporan keuangan dapat melihat laporan keuangan setiap saat secara cepat, akurat, dan benar. Dengan bantuan komputer, data yang dicatat bukan hanya data keuangan saja, melainkan data lain seperti: data pelanggan dan penjualan. Data non-keuangan dapat dianalisis untuk menghasilkan informasi non-keuangan yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan strategik dalam mencapai tujuan perusahaan (Santosa 1999:2).

SIA terkomputerisasi dapat menyajikan informasi keuangan dan non-keuangan dengan mudah karena didukung oleh database. Dengan adanya database, maka data dapat terintegrasi, duplikasi dapat dikurangi, format data tidak tergantung pada aplikasi program, memudahkan pemakai data, menyajikan informasi dengan bantuan bahasa query (Kroenke 2000:13-14). Dalam rangka mengurangi duplikasi/pengulangan data, ada indikasi untuk meninggalkan model double-entry bookeeping (Romney 2000:161). Hal tersebut merupakan tantangan bagi akuntan untuk memahami database lebih jauh.

Whitten (2000:133-173) berpendapat bahwa Joint Project Planning (JPP) dan Joint Requirements Planning (JRP) merupakan strategi yang paling efektif dan tercepat dalam merancang sistem. JPP merupakan strategi dimana semua stakeholders project (system owners, users, analysts, designers dan builders) berpartisipasi dalam ruang kerja project management. Dari JPP dapat ditentukan: lingkup projek, rencana kerja, sumber, dan anggaran. Sedangkan JRP merupakan teknik yang menggunakan ruang kerja untuk mempertemukan system owners, users, analysts, designers dan builders untuk bersama-sama menganalisis sistem.

Whitten (1994:43) mengelompokkan building block-people menjadi beberapa system users, salah satunya adalah technical and professional staff. Orang yang berada pada kelompok technical and professional staff memiliki keahlian khusus, misalnya akuntan. Dengan demikian akuntan berperan dalam perencanaan di atas. Akuntan tidak hanya berperan dalam perencanaan, tetapi berperan pada keseluruhan perancangan database. Akuntan berperan dalam perancangan conceptual, external, dan internal-level schema. Oleh sebab itu akuntan harus memiliki pengetahuan sistem database yang baik, sehingga dapat berpartisipasi dalam merancang SIA terkomputerisasi. Partisipasi akuntan yang utama adalah menjamin bahwa pengawasan memadai diterapkan dalam sistem database, guna menjaga data. Akuntan juga harus memberi keyakinan bahwa informasi yang dihasilkan dapat dipercaya.

Berdasarkan pengamatan terhadap mahasiswa yang menempuh mata kuliah Database Manajemen Sistem, yang penulis asuh sejak tahun 1996 di Jurusan Akuntansi Universitas Kristen Petra, mahasiswa mengalami kesulitan dalam menggambarkan Diagram Entity-Relationship (ERD). Entity apa yang harus disertakan, attribute apa yang harus dicantumkan pada masing-masing Entity. Umumnya mahasiswa menggambarkan ERD seperti pada Gambar 1(A), sebenarnya penggambaran tersebut tidak terlalu salah, walaupun cukup sulit untuk menghasilkan database yang memenuhi normalisasi (Yuliana 2001:37). Penulis harus mengilustrasi seperti pada Gambar 1(B), sehingga mahasiswa dapat menggambarkan ERD seperti pada Gambar 1(C). Karena mahasiswa akuntansi sudah memahami siklus-siklus akuntansi, maka ada cara pendekatan lain, yaitu Diagram REA. Pada tulisan ini diagram REA diterapkan hanya pada siklus pendapatan.

Selengkapnya download artikel jurnal sistem informasi akuntansi via ziddu


Sunday, May 10, 2009

The Struggle against Creative Accounting: Is "True and Fair View" Part of the Problem or Part of the Solution?

Creative accounting is a growing issue of interest in Spain. In this article we argue that the concept true and fair view can limit or promote the use of creative accounting depending upon its interpretation. We review the range of meanings that true and fair view can take at an international level and compare the experience of the United Kingdom with the Australian one by analysing the use of true and fair view to limit creative accounting. Finally, we suggest lines of action to be considered by the Spanish accounting standards-setting institutions.

There are several definitions for creative accounting. For example, Naser (1993) from an academic point of view offers the following definition:

“Creative accounting may be defined as:

- the process of manipulating accounting figures by taking advantage of the loopholes in accounting rules and the choices of measurement and disclosure practices in them to transform financial statements from what they should be, to what preparers would prefer to see reported, and

- the process by which transactions are structured so as to produce the required accounting results rather than reporting transactions in a neutral and consistent way” (p. 59)

If we explore this definition we find that some interesting assertions are implied. By saying that creative accounting transforms accounts from what they 'should' be it is implied that there is some absolute truth in accounting that could be achieved if only the rules were applied impartially. Similarly there is a reference to an idea that transactions should be reported in a 'neutral and consistent' way, the term neutral again implying a need for impartiality.

Most commentators view creative accounting with distate. In this line, Griffiths (1985) or

Jameson (1988) who indicates:

“Let there be no doubt about it, creative accounting is a bad thing. It distorts company results and financial position and, if the theorists are to be believed is likely to become increasingly common" (p. 20).

Smith (1992) illustrates his contention that creative accounting is a serious problem with case studies of three UK listed companies, which collapsed shortly after presenting accounts that seemed to indicate financial strength. The author argues:

“These three large corporate collapses all owe their occurrence in some respects to techniques of creative accounting or financial engineering" (p. 9).

In a study carried out by Leung and Cooper (1995) to 1.500 accountants in Australia, highlighted that creative accounting is considered one of the major ethical problems of the accounting profession. Table 1 shows that 50,1% of respondants stated that the problems of manipulation n of financial information by clients, presented an ethical problem for accounting professionals.

Download accounting journal article: ziddu


Saturday, May 9, 2009

Penerapan Digital Nervous Systems (DNS): Sebuah Usaha untuk Meningkatkan Bisnis di Era Ekonomi Digital

Abstrak

Dalam era ekonomi digital, organisasi bisnis harus menciptakan sebuah sistem informasi berbasis komputer yang efektif, yang bukan hanya menghasilkan informasi dengan cepat, relevan, dan reliable, tetapi juga dapat membuat informasi mengalir dengan cepat dan lancar, sehingga dapat bereaksi lebih cepat atas masalah dan peluang yang ada. Oleh karena itu, organisasi bisnis harus menerapkan artificial intelligence, seperti Digital Nervous Systems (DNS) sebagai sebuah kebutuhan strategisnya. DNS adalah visi ideal aliran informasi yang menghubungkan semua bagian organisasi sehingga memungkinkan organisasi bertindak, memberi reaksi dan beradaptasi lebih cepat dan lebih baik.

Untuk merealisasikan visi DNS, setiap organisasi bisnis harus menerapkan konsep The Business Internets yang mencakup empat bidang yang saling berhubungan dan membangun lima komponen teknologi sebagai prasyarat yang harus dipenuhi. Selain itu, ada tiga tahap yang harus dilalui untuk membangun sebuah DNS. Dalam penerapannya, DNS membawa banyak manfaat bagi organisasi bisnis untuk meningkatkan bisnisnya. Namun perlu disadari juga bahwa masih ada beberapa hambatan yang dihadapi untuk dapat menerapkannya.

Kata kunci: ekonomi digital, internet, informasi, Digital Nervous Systems (DNS), The Business Internets.

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi menjadikan banyak organisasi bisnis menerapkan teknologi informasi dalam aktivitas bisnisnya agar organisasi bisnisnya tetap survive dan memiliki competitive advantages. Penerapan teknologi informasi yang paling banyak digunakan adalah komputer. Organisasi bisnis berbasis komputer inipun berkembang sangat cepat. Pada tahap awal, organisasi bisnis melengkapi model bisnisnya dengan kapabilitas transaksi melalui internet. Selanjutnya hal ini disebut dengan e-commerce. Dengan menerapkan e-commerce, pembeli tidak perlu bertemu dengan penjual untuk melakukan sebuah transaksi. Tempat, jarak dan waktu tidak lagi menjadi penghambat dalam bertransaksi.

Sekarang organisasi bisnis telah melangkah lebih jauh lagi. Bukan hanya sekedar melakukan transaksi melalui internet, tetapi mulai memfokuskan usaha pada dekonstruksi dan konstruksi model bisnisnya atau value proposition-nya, yang kita kenal dengan istilah e-business. Dekonstruksi dan konstruksi model bisnis menjadi tidak terhindarkan karena e-business sedang dan akan dengan cepat menciptakan sebuah kondisi kompetisi baru. E-business menawarkan peluang besar untuk menciptakan laba dan memperkuat posisi pasar. E-business juga memungkinkan penurunan biaya dengan migrasi transaksi penjualan dan pelayanan pelanggan lewat saluran yang lebih murah (e-commerce), menjangkau pelanggan baru dengan biaya yang sangat murah, memperkaya penawaran dengan berbagai inovasi bundling atau customization, dan memungkinkan aliansi lintas value chain. Konstruksi berbagai pendorong kinerja ini ke model bisnis baru akan dapat meningkatkan daya saing perusahaan.

Perkembangan teknologi informasi bukan hanya merubah proses bisnis organisasi, tetapi juga merubah gaya hidup masyarakat. Dengan internet, mereka dapat tetap berkomunikasi dengan rekannya dimana saja kapan saja dengan biaya yang relatif murah dan cepat. Mereka juga dapat bertransaksi, mencari hiburan, memperoleh informasi yang mereka inginkan melalui internet.

Bursa kerja juga ikut mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Saat ini knowledge workers menjadi sangat dibutuhkan dan sangat berharga bagi sebuah organisasi bisnis. Mereka adalah pekerja seperti teknisi, ilmuwan atau perancang yang mendisain barang atau jasa, atau menciptakan knowledge dan informasi bagi organisasi (Laudon 2000). Dalam melakukan pekerjaannya, mereka menggunakan pengalamanan, ketrampilan dan pengetahuan mereka untuk melakukan analisa bisnis dengan kemampuan berpikir yang lebih berdayaguna, kreatif dan inovatif.

Selengkapnya download artikel jurnal bisnis via ziddu


Friday, May 8, 2009

Stepwise Multiple Testing as Formalized Data Snooping

Economists have long been aware of the dangers of data snooping. For example, see Cowles (1933), Leamer (1983), Lo and MacKinley (1990), and Diebold (2000). However, in the context of comparing several strategies to a benchmark, little has been suggested on how to properly account for the effects of data snooping. A notable exception is White (2000). The aim of this work is to determine whether the strategy that is best in the available sample indeed beats the benchmark, after accounting for data snooping. White (2000) coins his technique the Bootstrap Reality Check (BRC). Often one would like to identify further strategies that beat the benchmark, in case such strategies exist, apart from the one that is best in the sample. While the specific BRC algorithm of White (2000) does not address this question, it could be modified to do so. The main contribution of our paper is to provide a method that goes beyond the BRC: it can identify strategies that beat the benchmark which are not detected by the BRC. This is achieved by a stepwise multiple testing method, where the modified BRC would correspond to the first step. But further strategies that beat the benchmark can be detected in subsequent steps, while maintaining control of the familywise error rate. So the method we propose is more powerful than the BRC.

To motivate our contribution, consider the example of a large number of actively managed mutual funds that aim to outperform the S&P 500 index, which plays the role of the benchmark. In this context, a mutual fund would outperform the S&P 500 index if its returns had at the same time a higher expected value and an equal (or lower) standard deviation. Certain forms of the efficient market hypothesis imply that no mutual fund can actually outperform the S&P 500 index (assuming that the S&P 500 index is taken as a proxy for the `market'). A financial economist interested in the validity of certain forms of the efficient market hypothesis would therefore ask: \Is there any mutual fund which outperforms the S&P 500 index?". This financial economist is served well by the BRC as proposed by White (2000). On the other hand, a financial advisor might be looking for mutual funds to recommend to a client. If the client's benchmark is the S&P 500 index, the financial advisor will ask: \Which mutual funds outperform the S&P 500 index?". In this case, the `original' BRC is not adequate, though the modified BRC would be. The method we propose would be even more useful to the financial advisor, since it can detect more outperforming mutual funds than the modified BRC.

As a second contribution, we propose the use of studentization to improve size and power properties in finite samples. Studentization is not always feasible, but when it is we argue that it should be incorporated and we give several good reasons for doing so.

We seek to control the chance that even one true hypothesis is incorrectly rejected. Statisticians often refer to this chance as the familywise error rate (FWE); see Westfall and Young (1993). An alternative approach would be to seek to control the false discovery rate (FDR); see Benjamini and Hochberg (1995). The FDR is defined as the expected proportion of rejected hypotheses (i.e., strategies identified as beating the benchmark) that are actually true (i.e., do not beat the benchmark). The FDR approach is less strict than the FWE approach and will, generally, `discover' a greater number of strategies beating the benchmark. But a certain proportion of these discoveries are, by design, expected to be false ones. Which approach is more suitable depends on the application and/or the preferences of the researcher. Future research will be devoted to use of a FDR framework in order to identify strategies that beat a benchmark.

Download financial journal article: ziddu


Thursday, May 7, 2009

Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Biaya Melalui Integrasi Time & Motion Study dan Activity-Based Costing

Abstrak

Kemajuan perusahaan sebagai organisasi bisnis, membuat aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan semakin meningkat. Berbagai macam aktivitas dilakukan oleh perusahaan dalam rangka memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan customer. Perusahaan berusaha untuk meningkatkan efisiensi aktivitas dan melakukan pengukuran tingkat aktivitas yang dilakukan, padahal tingkat kesulitan yang dihadapi perusahaan untuk melakukan pengukuran setiap aktivitas yang dilakukan cukup tinggi. Metode time & motion study memberikan solusi bagi perusahaan untuk melakukan pengukuran tingkat aktivitas yang dilakukan. Setiap pergerakan atau perpindahan suatu aktivitas mengkonsumsi waktu dan sumber daya, sehingga terdapat banyak teknik pengukuran time & motion study seperti work sampling, work-unit activity, time standard dan sebagainya. Dengan berbagai teknik pengukuran tersebut, maka perusahaan akan dapat mengukur tingkat produktivitas setiap sumber daya yang digunakan dalam menyelesaikan aktivitas. Untuk melengkapi teknik efisiensi biaya pada perusahaan, maka perusahaan perlu melakukan pembebanan biaya yang akurat. Dalam hal ini metode Activity-Based Costing (ABC) adalah metode yang dianggap paling sesuai untuk diintegrasikan karena metode ABC pada dasarnya membebankan biaya-biaya tidak langsung berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan. Dengan mengintegrasikan metode time & motion study dengan ABC, maka perusahaan akan dapat mengendalikan dan mengukur produktivitas serta efisiensi biaya yang dilakukan karena kedua metode tersebut saling melengkapi untuk melakukan aktivitas perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan customer.

Kata kunci: time & motion study, activity-based costing, produktivitas, efisiensi biaya, pembebanan biaya, waktu standar.

Keberhasilan setiap organisasi bisnis dewasa ini tergantung pada keberhasilan proses bisnis yang diselaraskan dengan tujuan dan strategi organisasi perusahaan secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, setiap individu yang berada dalam organisasi tersebut haruslah mengerti seberapa besar masing-masing individu memahami tujuan dan berperan dalam proses pencapaian tujuan, sehingga sangatlah penting bagi sebuah organisasi untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan dalam rangka pencapaian tujuan utama perusahaan.

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, perusahaan haruslah meningkatkan kinerja dari satu periode ke periode berikutnya. Peningkatan kinerja tersebut dapat dicapai antara lain dengan melakukan process improvement, yaitu aktivitas perusahaan untuk melakukan peningkatan proses yang dapat memberikan nilai tambah secara terus menerus (Trischler 1996:3). Dengan melakukan process improvement, maka perusahaan akan dapat menciptakan keunggulan kompetitif untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan customer (pelanggan).

Salah satu fokus perhatian dalam menciptakan process improvement adalah melakukan perencanaan dan pengendalian aktivitas proses bisnis internal atau proses produksi dalam perusahan. Aktivitas proses produksi sangatlah penting untuk dikendalikan, karena dari sanalah peningkatan kinerja perusahaan berasal. Dalam melakukan pengendalian atas setiap aktivitas yang dilakukan oleh perusahan untuk memenuhi keinginan dan kepuasan customer, perusahaan melakukan pengukuran atas setiap aktivitas yang ada. Pengukuran terhadap aktivitas tersebut dilakukan selain untuk melihat seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan juga seberapa banyak tingkat aktivitas yang dilakukan perusahaan untuk menghasilkan produk yang memenuhi permintaan customer. Melihat pentingnya pengukuran setiap aktivitas yang dilakukan perusahaan, maka dibutuhkan metode pengukuran yang akurat untuk dapat memberikan informasi yang tepat atas waktu yang dibutuhkan dan efisiensi pergerakan setiap aktivitas untuk menghasilkan produk. Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan pengukuran waktu atas aktivitas yang digunakan adalah dengan metode time & motion study. Dari metode tersebut dapat dilihat pula adanya peningkatan produktivitas atas waktu dan pergerakan sumber-sumber yang digunakan dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh perusahaan.

Selengkapnya download artikel jurnal efisiensi biaya perusahaan via ziddu


Wednesday, May 6, 2009

The Effects of Poor Financial Information Systems on the Long Term Sustainability of Local Public Services.

Abstract

In this paper we describe the existence of financial illusion in public accounting and we comment on its effects for the future sustainability of local public services. We relate these features to the lack of incentives amongst public managers for improving the financial reporting and thus management of public assets. Financial illusion pays off for politicians and managers since it allows for larger public expenditure increases and managerial slack, these being arguments in their utility functions. This preference is strengthen by the short time perspective of politically appointed public managers. Both factors run against public accountability. This hypothesis is tested for Spain by using an unique sample. We take data from around forty Catalan local authorities with population above 20,000 for the financial years 1993-98. We build this data basis from the Catalan Auditing Office Reports in a way that it can be linked to some other local social and economic variables in order to test our assumptions.

The results confirm that there is a statistical relationship between the financial illusion index (FI as constructed in the paper) and higher current expenditure. This reflects on important overruns and increases of the delay in paying suppliers, as well as on a higher difficulty to face capital finance. Mechanisms for FI creation have to do among other factors, with delays in paying suppliers (and thereafter higher future financial costs per unit of service), no adequate provision for bad debts and lack of appropriate capital funding either for reposition or for new equipments. For this, it is crucial to monitor the way in which capital transfers are accounted in local public sheet balances. As a result, for most of the Municipalities we analyse, the funds for guaranteeing continuity and sustainability of public services provision are today at risk.

Given managerial incentives at present in public institutions, we conclude that public regulation recently enforced for assuring better information systems in local public management may not be enough to change the current state of affairs

Introduction

In most of OECD countries over the last decades, conventional accounting information systems have been threat by the development of new Information Technologies. Potentials for better budget reporting have improved a lot (see P. Heller, 2003). The aim of improving public accountability through better information is indeed in the core of the new public management (Lopez et. al. 2003). Despite this, implementation depends on the incentives of managers and politicians and things are much less clear in this arena.

Under models of bureaucratic behaviour and fiscal illusion (Niskanen, 1971)1, it is plausible to assume that lack of transparency may be there to stay. As it helps to hide inefficiency, poor financial reporting may favour managerial slack against public interest.

Despite the fact that the former assumptions may be extended to public administration in general, our interest here is to test some particular propositions related to the creation of Financial Illusion (FI) at the local public sector level. Mayston et al (1992) have shown that this is an appropriate field of analysis given a larger diversity in the existing practices. We confront then the effects of FI on local public budgets, and the absence of incentives amongst public managers for a better financial information system to improve the management of publics assets, on a sample of forty two Catalan municipalities 2 along the 1993-98 period. Data are taken from the Sindicatura de Comptes de Catalunya (The Catalan Auditing Commission) on actual settled expenditure and revenues.

Download financial journal paper: ziddu