Friday, May 29, 2009

Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya

Abstrak

Saat ini sudah terdapat banyak studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI). Namun demikian metodologi yang digunakan dan hasil studi masih sangat bervariasi. Meskipun faktor-faktor yang dianggap tetap (ceteris paribus) pengaruhnya sangat kuat, seperti variabel makro ekonomi yaitu pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tetapi masih juga terdapat kesimpulan yang berbeda dan menimbulkan berbagai perdebatan. FDI menjadi salah satu sumber pembiayaan (modal) yang penting bagi negara berkembang, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan melalui transfer asset dan manajemen, serta transfer teknologi guna mendorong perekonomian negara.

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan karakteristik dalam negeri suatu negara, yang akan dikombinasikan dalam periode jangka pendek dan jangka panjang dengan menggunakan perhitungan kuadrat terkecil sederhana (ordinary least square = OLS). Dengan mengaplikasikan model koreksi kesalahan (error correction model=ECM) dan Uji Kausalitas Granger, akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung (FDI) di Indonesia selama periode 1978 – 2001.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel ekonomi (GDP, Growth, Wage, dan Ekspor) mempunyai hubungan positif dengan FDI, sedangkan variabel non ekonomi yaitu stabilitas politik (SP) mempunyai hubungan negatif. Hal ini sejalan dengan hasil temuan empiris Schneider and Frey (1986) bahwa kestabilan politik mempunyai hubungan negatif dengan FDI.

Kata kunci: FDI, variabel ekonomi, stabilitas politik, Kausalitas Granger, ECM

Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. Indonesia masih belum mampu menyediakan dana pembangunan tersebut. Disamping berupaya menggali sumber pembiayaan dalam negeri, pemerintah juga mengundang sumber pembiayaan luar negeri, salah satunya adalah Penanaman Modal Asing Langsung (foreign direct invesment=FDI).

Sumber pembiayaan FDI ini oleh sebagian pengamat, merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang paling potensial dibandingkan dengan sumber yang lain. Panayotou (1998) menjelaskan bahwa FDI lebih penting dalam menjamin kelangsungan pembangunaan dibandingkan dengan aliran bantuan atau modal portofolio, sebab terjadinya FDI disuatu negara akan diikuti dengan transfer of technology, know-how, management skill, resiko usaha relatif kecil dan lebih profitable.

Selengkapnya download artikel jurnal investasi Indonesia via ziddu


Pengaruh Saling Ketergantungan dan Keselarasan Tujuan terhadap Kooperasi dan Kinerja Perusahaan Manufaktur pada Hubungan Kontraktual dengan Pemasoknya

Abstrak

Studi ini menganalisis pengaruh dan implikasi beberapa karakteristik perilaku terhadap kinerja perusahaan dalam hubungan kontraktual antara perusahaan manufaktur dan pemasok. Penelitian ini dikembangkan dari kerangka hubungan kontraktual (relational contracting).

Variabel-variabel yang diteliti terdiri saling ketergantungan, kepercayaan dan keselarasan tujuan sebagai variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel kinerja perusahaan melalui variabel kooperasi.

Berdasarkan model teoritis yang diajukan dalam peneltian ini teknikteknik statistik yang digunakan adalah analisis korelasi multivariat, analisis regresi dan analsis jalur digunakan untuk menganalisis data dan menguji hipotesis.

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang telah melakukan hubungan kontraktual dengan pemasoknya secara berkesinambungan minimal satu tahun dan barang yang dibeli tersebut mempunyai pengaruh dominan pada proses produksi. Sampel diambil secara purposive sebanyak 51 perusahaan manufaktur di Jawa dan Kalimantan.

Pengujian variabel-variabel penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner hasil modifikasi skala Likert menjadi enam skala pengukuran. Hasil uji statistik atas empat hipotesis menunjukkan bahwa tiga hipotesis nihil ditolak sehingga hipotesis kerja diterima yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara variabel variabel saling ketergantungan dengan kooperasi, variabel kepercayaan dengan kooperasi, keselarasan tujuan dengan kooperasi, variabel kooperasi dengan kinerja perusahaan. Variabel saling ketergantungan dengan kinerja yang semula tidak dihipotesiskan ternyata dari hasil uji statistik mempunyai hubungan yang signifikan. Terdapat satu hipotesis nihil yang tidak tidak berhasil ditolak yaitu variabel keselarasan tujuan dengan kooperasi.

Kata kunci: hubungan kontraktual, saling ketergantungan, kepercayaan keselarasan tujuan, kinerja perusahaan, kooperasi.

Sifat persaingan dibidang ekonomi telah mengalami perubahan, dari persaingan ceruk (niche competition) menjadi persaingan langsung (head to head competition). Kepemilikan sumber daya alam, modal dan teknologi produk bukan lagi merupakan unsur-unsur yang membentuk keunggulan kompetitif. Penemuan suatu teknologi proses menjadi lebih penting daripada penemuan produk baru. Mereka yang mampu menghasilkan produk yang lebih efisien dan lebih berkualitas akan dapat merebut pangsa pasar yang lebih luas (Thurow 1992: 28-58, 113-151).

Selama beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan manufaktur di Amerika Serikat (AS) masih mengadopsi metode-metode produksi dengan menggunakan parameterparameter tradisional untuk mengoptimalkan tujuan. Metode seperti economic order quantity dan reorder point yang membenarkan ketidakpastian dan kurang memacu para pelaksana untuk bekerja lebih cermat, memaksa perusahaan AS untuk menimbun persediaan dan memperpanjang throughput atau cycle time (Johnson dan Kaplan 1987: 210-216). Dipihak lain, perusahaan manufaktur Jepang lebih berkonsentrasi pada pengembangan teknologi proses melalui pendekatan inovatif dalam bidang produksi dan pengendalian persediaan, desain produk, serta perencanaan dan pengendalian kualitas. Hubungan jangka panjang dalam bentuk hubungan kontraktual (relational contracting) membutuhkan keseimbangan dalam adaptasi perilaku, yaitu perilaku hubungan antara perusahaan manufaktur dan perusahaan pemasok. Hubungan tersebut sebaiknya sangat dekat dan kooperatif. Kedua belah pihak akan melihat kepentingan bersama, dan karena itu suatu situasi yang mencerminkan saling ketergantungan, saling percaya, dan tujuan yang selaras menjadi sangat penting.

Semua perusahaan manufaktur di Indonesia dalam era globalisasi selayaknya berusaha untuk memproduksi barang berkualitas tinggi dengan biaya rendah dalam rangka meningkatkan daya saing baik dipasar domestik maupun pasar global. Situasi ini mendorong mereka untuk mengadaptasikan sistem manufaktur yang dapat mempercepat proses penciptaan nilai tambah, antara lain dengan melakukan hubungan kontraktual dengan para pemasok, maka topik mengenai faktor-faktor yang menentukan kesuksesan hubungan merupakan topik yang cukup menarik untuk menjadi obyek studi.

Selengkapnya download artikel jurnal perusahaan manufaktur via ziddu


Kajian terhadap Beberapa Metode Penyusutan dan Pengaruhnya terhadap Perhitungan Beban Pokok Penjualan (Cost Of Good Sold)

Abstrak

Setiap perusahaan wajib menerbitkan laporan keuangan, yang memberikan informasi mengenai hasil usaha, perubahan posisi keuangan kepada pihak yang memerlukan. Dalam menyusun laporan keuangan, perusahaan memiliki keleluasaan untuk memilih metode dan teknik sepanjang metode yang dipilih tersebut ada dalam SAK (Standar Akuntansi Keuangan).

Pemilihan metode akuntansi memiliki dampak yang sangat besar terhadap laporan keuangan yang dihasilkan. Dengan demikian dimungkinkan perusahaan yang sebenarnya memiliki kinerja yang sama dapat melaporkan hasil yang berbeda. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan dampak pemilihan metode penyusutan terhadap perhitungan beban pokok penjualan (cost of goods sold).

Kata kunci: metode penyusutan, beban penyusutan, aktiva tetap, beban pokok penjualan.

Setiap perusahaan yang ada dimanapun juga harus membuat apa yang dinamakan dengan laporan keuangan (Financial Statement) yaitu laporan yang berisi informasi perusahaan termasuk di dalamnya neraca, laba rugi, laporan perubahan modal, dan laporan arus kas beserta rincian masing-masing pos dalam laporan keuangan. Dengan adanya laporan keuangan ini maka pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan seperti pemilik modal dan pihak lain yang terkait dapat mengetahui kinerja dari perusahaan.

Penyusunan laporan keuangan tidak terlepas dari pemilihan metode-metode, teknik, dan kebijakan-kebijakan akuntansi. Pemilihan metode maupun teknik dalam akuntansi dapat berpengaruh terhadap pengakuan pendapatan dan beban (revenue recognition principle), perhitungan beban pokok penjualan (cost of goods sold), sehingga pada akhirnya mempengaruhi laporan keuangan yang dihasilkan.

Berbicara mengenai aktiva tetap tidak terlepas dari kebijakan dan metode penyusutan. Hal ini tergantung dari kebijakan perusahaan yang bersangkutan. Dimana antara satu dan lain perusahaan terutama yang sejenis misalnya tekstil belum tentu mempunyai kebijakan umur ekonomis aktiva yang sama walaupun metode penyusutan yang digunakan bisa sama. Membahas penyusutan itu sendiri tidak hanya membahas metode penyusutan yang ada berapa macam itu tapi juga dapat membahas tentang penentuan umur ekonomis dari aktiva tetap dalam hal ini mesin dan peralatan pabrik. Selain itu komposisi dari aktiva tetap yang dimiliki perusahaan dan juga jenis kegiatan usaha perusahaan tentunya dapat mempengaruhi pemilihan metode penyusutan.Pemilihan metode penyusutan haruslah dilakukan dengan benar dan tepat dan mempertimbangkan untung ruginya untuk masa mendatang. Karena itu beban penyusutan harus dialokasikan secara rasional dan sistematik agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang telah berlaku umum. Beban penyusutan aktiva tetap harus dialokasikan sepanjang umur ekonomis aktiva tersebut dalam menghasilkan pendapatan. Sebab jika beban penyusutan dialokasikan tanpa dasar yang benar maka hal itu dapat berpengaruh terhadap perhitungan beban pokok produksi/beban pokok penjualan karena beban penyusutan terutama mesin dan peralatan serta bangunan pabrik merupakan salah satu unsur yang signifikan dan bernilai material dari beban overhead pabrik. Hal-hal yang berkaitan dengan penyusutan dapat meliputi beberapa hal seperti metode penyusutan, kebijakan penentuan umur ekonomis aktiva tetap. Dalam pemilihan metode penyusutan ini bisa dipengaruhi oleh jumlah dan jenis aktiva tetap serta jenis kegiatan usaha yang dijalankan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi keuangan via ziddu


Transitory Economic Shocks and Civil Conflict

Is civil conflict triggered by transitory economic downturns? Answering this question is complicated by many difficult-to-measure economic, social, political, and institutional factors that may affect both income and the likelihood of civil conflict. In addition, economic downturns may partly be driven by the expectation of future civil conflict. Miguel, Satyanath, and Sergenti (2004) show how both these issues can be addressed. Using a panel-data setup to control for unobservables, they show that civil conflict in Sub-Saharan Africa is more likely to start following years of low rainfall growth and that low rainfall growth is also associated with low income growth. Based on their instrumental-variables estimation results, Miguel, Satyanath, and Sergenti conclude that negative (rainfall-driven) income shocks trigger civil conflict. This is in line with Collier and Hoeffler (1998, 2002, 2004) and Fearon and Laitin (2003), who have argued that economic variables are often more important determinants of civil conflict than political or social grievances.

Estimating the effect of transitory economic shocks on civil conflict involves an interesting issue that has not been analyzed so far. Consider Miguel, Satyanath, and Sergenti’s finding that civil conflict is more likely to start in year t, the lower rainfall growth between t-1 and t-2 (reproduced in Table 2, Panel B, column (7)). This result is consistent with conflict outbreak being most likely when a drought year at t-1 (a negative rainfall shock) follows an average rainfall year at t-2. But the result is also consistent with the view that conflict at t is most likely to start when exceptionally good rainfall conditions at t-2 (a positive rainfall shock) are followed by an average rainfall year at t-1.1 The general point is that because rainfall shocks are transitory, low interannual rainfall growth between t and t-1 could be due to a negative rainfall shock at t or due to mean reversion following a positive shock at t-1.2 The finding that civil conflict is more likely when rainfall growth is negative is therefore consistent with conflict being more or conflict being less likely following droughts.

It is important to understand whether civil conflict starts following positive or negative economic shocks. If civil conflict follows negative transitory shocks, conflict onset may be related to the temporarily low opportunity cost of fighting during transitory economic downturns. This explanation of the effect of income on civil conflict was suggested by Collier and Hoeffler (1998) and is also put forward by Miguel, Satyanath, and Sergenti (for a theory of the link between transitory shocks and civil conflict, see Chassang and PadrĂ³ i Miquel, 2006 and 20073). But rent-seeking explanations of civil conflicts appear more plausible than opportunity-cost explanations if conflict is more likely following positive economic shocks.

Download economic journal article: ziddu


Sunday, May 24, 2009

Pajak Penghasilan dalam Sebuah Kebijaksanaan

Abstrak

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang menurut peraturan perundang-undangan, tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pemungutan pajak harus sesuai dengan prinsip keadilan. Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Ada kebijaksanaan-kebijaksanaan penting yang terkait dengan sistem perpajakan Indonesia. Kebijaksanaan tersebut adalah : jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang menjadi subyek pajak, apa saja yang menjadi obyek pajak, tarif Pajak Penghasilan dan prosedur pajak.

Kata kunci: pajak, prinsip kemampuan untuk membayar, benefit principle, keadilan horizontal, keadilan vertikal, obyek pajak, subyek pajak, tarif Pajak Penghasilan.

Ada keengganan yang timbul ketika pajak menjadi sebuah topik pembicaraan, karena berbicara mengenai pajak berarti berbicara mengenai pengeluaran yang manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung. Jika kita hanya melihat pajak dalam definisi di atas, berarti kita melihat pajak dalam suatu definisi lengkap yaitu : pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang menurut peraturan perundang-undangan tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Melihat definisi pajak secara lengkap ini, bisa membuat pembayar pajak berpikir kembali untuk mengeluarkan uangnya, khususnya jika tidak ada kata-kata …….”terutang menurut undang-undang.” Mengapa demikian, jika kita berpikir lebih lanjut, definisi pajak di atas jelas berseberangan dengan satu prinsip ekonomi ekonomi, yaitu bagaimana pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Ada kontradiksi, satu sisi uang dikeluarkan untuk membayar pajak yang kontra prestasinya atau manfaatnya tidak jelas yang bisa kita lihat dari penggunaan fasilitas-fasilitas umum, dimana di Indonesia fasilitas umum hampir tidak ada yang gratis. Buang air kecil dikenai tarif Rp 500,- lebih besar pembuangan, lebih besar juga tarifnya, padahal jika ditelusuri sejarahnya, pengadaan fasilitas umum itu menggunakan dana hasil pembayaran pajak. Sisi yang lain adalah sudut pandang prinsip ekonomi, jika perlu sama sekali tidak ada pengorbanan tetapi justru mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Ada suatu perbandingan yang porposional antara apa yang dikorbankan dengan manfaat yang diterima, meskipun ada upaya untuk memaksimalkan manfaat yang diterima. Terdengar cukup ekstrim, tetapi pandangan seperti ini tidak bisa dipungkiri memang ada dalam pemikiran para wajib pajak. Hal ini biasa dibuktikan dengan adanya upaya dari Wajib Pajak untuk melakukan usaha menghindarkan diri dari pembayaran pajak, baik secara legal maupun secara illegal. Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah tax avoidance untuk legal action dan tax evasion untuk illegal action.

Terlepas dari semuanya, tulisan ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara umum tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan pajak khususnya Pajak Penghasilan. Harapan yang diinginkan adalah terbukanya suatu pandangan positif bahwa pajak bukan hanya suatu pengorbanan yang tidak bermanfaat melainkan sebaliknya.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi pajak via ziddu


The Effect of University Culture and Stakeholders’ Perceptions on University-Business Linking Activities

The interaction between university and business has been a subject of economic, political and social interest for several decades, and forms part of the debate that revolves around the relevance of universities in today’s world and the revolution occurring in higher education.

Universities are considered an important ingredient of the innovation formula in the new knowledge society, and as such they are experiencing important changes. From being the producers and guardians of knowledge for its own sake1, they are increasingly being asked to generate “useful” knowledge and to “transfer” it to the economic system. The concept of knowledge diffusion, therefore, has become as relevant to the university’s mission as knowledge creation.

As return on investment becomes the focal point of the global consumer capitalistic society, where accountability often turns to simple accounting and money becomes the measure of all things, universities are put under the ringer to account for the funds they receive (particularly public ones) and forced into designing profit-making strategies and increasing their interaction with the businesses that are at the end of the rope, exerting the major squeeze.

A serious debate has been taking place on whether implementing profit-making business related strategies will represent a positive or negative change for universities or even if they truly belong within the scope of university function. One extreme of this debate is represented by those who view the link with businesses as threatening the “real” role of university as unbiased generators of knowledge for the pursuit of profitable endeavours, while at the other extreme are those who consider the university another economic agent and, as such, believe that the financing of academic activities should be justified in terms of economic productivity.

This paper will discuss these different views and their effect on university organizational structure and function. It concludes that since the links with businesses arise as ad hoc solutions to intermittent situations, a culture that supports them has not yet been rooted within the university system and that instead, the prevailing culture and structure opposes the development of appropriate mechanisms to promote them. First, a reference framework for the analysis of university-business links is developed, followed by a description of the activities involved in these links and their accompanying organizational structures. Subsequently, a description of the USB is provided. The next section centres on the analysis of university’s decision and policymaking capabilities in the development of diffusion and transfer activities, focusing on the stakeholders’ perspective and sphere of influence. The remaining part of the paper proposes strategies and policy recommendations that can promote university-business relations, particularly those involved with the licensing of inventions and the generation of technology-based enterprises arising from research results.

Download economic journal paper: ziddu


Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia

Abstrak

Earnings management merupakan tindakan manajemen yang berupa campur tangan dalam proses penyusunan laporan keuangan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraannya secara personel maupun untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Penelitian ini merupakan hasil replikasi dari penelitian Dechow et.al (1996) yang menguji sebab dan konsekuensi earnings management pada perusahaan yang menjadi subjek diberlakukannya AAER(Accounting and Auditing Enforcement Release) oleh SEC (Securities Exchange Commision). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris pengaruh reputasi auditor, jumlah dewan direksi, leverage, dan persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO terhadap earnings management pada perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offerring) di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1994 sampai dengan 1997. Metode analisis statistik yang digunakan adalah multiple regression.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya faktor leverage yang berpengaruh signifikan terhadap earnings management. Hal ini berarti earnings management berkaitan dengan sumber dana eksternal khususnya utang yang digunakan untuk membiayai kelangsungan perusahaan.

Kata kunci: earnings management, discretionary accruals, initial public offering (IPO), leverage

Laporan keuangan merupakan media komunikasi yang digunakan untuk menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Pentingnya laporan keuangan juga diungkapkan Belkoui (1993) bahwa laporan keuangan merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya pemilik. Salah satu parameter penting dalam laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba.

Menurut Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1, informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja atau pertanggungjawaban manajemen. Selain itu informasi laba juga membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan di masa yang akan datang. Adanya kecenderungan lebih memperhatikan laba ini disadari oleh manajemen, khususnya manajer yang kinerjanya diukur berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya perilaku menyimpang (dysfunctional behaviour), yang salah satu bentuknya adalah earnings management.

Belum ada definisi yang jelas tentang earnings management. Masing-masing peneliti memberikan definisinya. Dechow, et.al (1996) mendefinisikan earnings management sebagai earnings manipulation, baik di dalam maupun di luar batas Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Scott (1997) mendefinisikan earnings management sebagai tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan. Peneliti membatasi earnings didasarkan pada sifatnya, hal ini dikarenakan masih terdapat kerancuan mengenai terminologi earnings dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Indonesia. Peneliti mengasumsikan earnings terdiri atas laba tunai dan komponen komponen accruals baik yang berada di bawah kebijakan manajemen (discretionary) maupun yang tidak (nondiscretionary).

Earnings management sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang menjadi pendororng timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi earnings management. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip oleh Sugiri (1998) membagi motivasi earnings management menjadi 3, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.

Dechow, et.al (1996) mengidentifikasi faktor demand for external financing, insider trading, debt, bonus, dan governance structure sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earnings management. Terdapat berbagai macam proxy yang digunakan untuk mengukur faktor-faktor tersebut. Beberapa di antaranya adalah leverage, reputasi auditor, dan jumlah dewan direksi. Selain ketiga faktor di atas, penelitian ini juga menambahkan satu faktor baru, yaitu persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO.

Selengkapnya download artikel jurnal akuntansi manajemen via ziddu